58. Bad

967 108 7
                                    

Menyendiri adalah hal yang selalu Pluem pilih ketika hatinya sedang hancur. Layaknya sekarang, dia memilih lorong dimana tak ada siapa pun yang melintas. Duduk di kursi tunggu paling ujung. Sembari terus mengusap sebuah gelang yang selalu dia pakai selama hampir empat tahun belakangan.

"Pluem-kub."

Pria berambut hitam itu memejamkan mata yang sudah basah. Ketika suara seseorang yang terdengar khawatir, melewati indera pendengarannya.

"Kenapa........ Kau selalu menemukanku? Kenapa kau selalu melihatku yang sedang hancur, Chimon-kub?" Tanya Pluem lirih. Entah bagaimana bisa, selalu saja Chimon menemukan Pluem dimana pun itu ketika dia sedang merasa sangat rapuh. Padahal, Pluem ingin menghindari semua orang.

"Butuh pelukan?" tanya Chimon pelan, Ketika sudah duduk disamping sang kekasih. Dan karena Pluem tak menjawab, tanpa bertanya lagi Chimon langsung menarik kepala sang kekasih untuk bersandar di dada bidangnya.

Pluem diam. Tak menolak, namun juga tak berbicara. Dia hanya terus meneteskan air mata dalam diam. Dan mengusap gelang pemberian Nanon yang sangat berarti untuknya.

"Gelang itu, bukankah pemberian Nanon?" tanya Chimon raguu. Karena sudah hampir empat tahun berlalu.

"Hm, gelang ini sangat istimewa. Kau tahu kenapa?"

"Mai." jawab Chimon cepat. Karena nyatanya dia tak tahu jika gelang itu sangat istimewa.

Pluem menghembuskan napasnya sejenak, sebelum kembali berbicara. Merasa dadanya amat sesak jika kenangan masa lalu tentang Nanon melintas di kepalanya.

"Gelang ini....... Dia membelinya sambil menerobos hujan, padahal saat itu dia sedang demam. Dan dia menggunakan uang hasil kerja kerasnya sendiri." Mendengar itu, Chimon cukup terkesima.

"Aku...... Sungguh tidak bisa kehilangan dia, Chimon. Dia segalanya bagiku." Pria berambut hitam itu mulai terisak, dan Chimon hanya mampu diam sembari mengusap kepala sang kekasih.

........

Krist tersentak saat ada sesuatu yang dingin menyentuh sudut bibirnya. Dia menoleh, dan mendapati Frank sedang mengompres luka di sudut bibirnya dengan es berbalut kain.

Karena dirinya yang terus melamun di depan ruang ICU, Krist tak sadar jika Frank sudah keluar dari ruang ICU sedari tadi. Bahkan ketika Frank duduk di bangku sampingnya pun, Krist tak tahu.

"Apakah...... Sakit, Phi?" tanya Frank dengan mata berkaca.

Memukul Krist bukanlah hal yang Frank sukai. Dia hanya tak bisa mengendalikan amarahnya tadi. Dan setelah keluar dari ruang ICU dan mendapati Krist sedang melamun, Frank merasa sangat bersalah.

Pria itu bukanlah seseorang yang bisa berlaku kasar jika sedang marah. Entah setan apa yang merasukinya, Frank benar-benar seakan bukan ponakan yang baik untuk Krist tadi.

"Maidai. Aku tak apa, Frank-kub."

Frank diam sejenak. Menatap setiap detail wajah milik kakak sepupunya. Tampak sekali raut lelah dan ketakutan disana. Dan siapa pun tahu, jika Krist lah yang paling ketakutan diantara mereka. Karena pria itu harus memikul tanggung jawab untuk tetap tegar disaat sedang menangani ponakannya sendiri yang sedang sekarat.

"Maaf karena menyakitimu. Kau.... Pasti merasa kecewa karena perlakuanku tadi." ujar Frank yang mendapat gelengan cepat dari Krist.

Perlahan, tangan Krist terulur mengusap rambut ponakannya itu. Ada begitu banyak kejadian sulit yang sudah mereka lewati bersama akhir-akhir ini. Dan selama itu, Krist tahu Frank merasakan kecewa yang lebih besar untuknya.

The Vihokratana Family [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang