24. Longtime

1.3K 130 6
                                    

Nanon dan Frank sampai dirumahnya dengan wajah lelah. Berjalan-jalan dari pagi hingga sore menyapa memang cukup menyenangkan untuk mereka. Namun tak dapat di pungkiri jika rasa lelah pasti hinggap di tubuh mereka.

"Kau mandi saja dikamar mandi dalam. Biar aku yang di luar." ujar Frank lalu pergi dari kamar mereka setelah mengambil handuknya.

Nanon pun mengikuti perintah kakaknya. Dia mulai meraih handuk miliknya dan memasuki kamar mandi dikamar itu. Perlahan melepas Kemeja panjang yang sudah membalut tubuhnya sedari pagi.

Namun hal yang tak terduga Nanon temukan. Dia kembali mengingat bagaimana posisi jatuhnya dari sepeda tadi. Dan memastikan apakah lengan atasnya sempat terbentur atau tidak. Karena disana kini sudah tercetak memar yang cukup jelas.

"Jika Phi'Frank melihat ini, dia pasti akan lebih cerewet daripada tadi siang." gumam Nanon mengusap memar di lengan atasnya. Kali ini dia benar-benar bersyukur karena Frank hanya menemukan memar di lututnya saja.

"Ah, kenapa aku merasa payah sekali. Lain kali aku harus memaksa siapapun mengajariku bersepeda." gerutu Nanon kemudian melanjutkan aksi melepaskan pakaiannya sendiri.

Tapi tak lama, Nanon kembali berdiam. Dia tiba-tiba teringat dengan Tawan. Dulu, ayahnya bilang akan mengajarinya sepeda. Namun karena sekarang keduanya sudah cukup sibuk masing-masing, hal itu tak kunjung Tawan lakukan lagi. Padahal, pasti akan sangat menyenangkan jika Tawan benar-benar mengajarinya lagi untuk menaiki sepeda dengan benar.

"Baiklah. Saat Daddy sudah tidak sibuk lagi, aku harus menagih ucapannya." ujar Nanon mengangguk mantap. Memandang kagum pantulan dirinya dari kaca wastafel.

"Kau memang selalu genius, Nanon. Aku bangga padamu." Nanon mengusap pantulan dirinya dengan gemas. Jika ada yang melihatnya seperti itu, dapat dipastikan dia akan di anggap kurang waras.

......

Ini sudah pukul sepuluh malam. Tapi Krist masih harus tinggal dirumah sakit karena pasiennya sempat kambuh. Seperti biasa, pasien itu tak mau di tangani oleh siapapun kecuali Krist.

"Apakah aku akan mati, Dokter?" lirih pria itu membuat tangan Krist yang baru saja meraih sebuah suntikan, mendadak terasa sangat kaku.

"Aj'kub, kau ini bicara apa." yang menanggapi ucapan pria itu adalah ibunya. Karena Krist saat ini tak bisa merangkai kata dengan baik.

"Aku akan mati, mah. Aku takut," Pria itu mulai menangis, membuat Krist harus menghela nafas dan memilih menyuntikan obat di lengan pria itu.

"Semuanya akan baik-baik saja. Kita tidak pernah tau bagaimana jalannya takdir, Aj'kub." ujar Krist sembari mengusap surai hitam milik Aj.

Dengan tangan lemahnya, pria itu meraih tangan Krist yang masih berada diatas kepalanya. Menggenggam tangan itu dengan erat, serta menatap mata Krist penuh harap.

"Bolehkah, aku menganggapmu sebagai kakakku?"

Krist berdiam sejenak. Mendengar pertanyaan Aj itu, dia jadi teringat Nanon karena dirinya seharian ini belom bertemu dengannya. Maka, pria itu mengangguk saja. Tidak buruk menganggap orang lain sebagai adiknya. Dia bisa menyalurkan kasih sayang yang tak bisa dia berikan secara langsung pada Nanon maupun yang lainnya untuk Aj.

"Tentu. Panggil aku Phi mulai sekarang, eoh?"

Aj tersenyum sangat lebar. Memeluk perut Krist dengan erat. Begitupun dengan kedua orang tua Aj. Mereka sangat bahagia karena Krist menjadi salah satu alasan Aj untuk bahagia. Dan mulai saat ini, mereka sangat berharap pada Krist untuk selalu ada di posisi anak mereka apapun yang terjadi.

The Vihokratana Family [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang