70. Tired

2.8K 165 50
                                    

Langit tampak menangis dan marah. Gemuruh beberapa kali mampu memekakan telinga. Malam itu, hujan turun dengan lebat. Mengiringi langkah kaki tergesa milik Krist yang hendak memasuki ruang ICU.

"Phi Krist, apa yang terjadi?" Pluem menahan lengan kakak sepupunya, namun pria bermata kucing itu menepis dengan kasar. Seakan tak memperdulikan apa pun, dia kembali berjalan hingga berhasil memasuki ruang ICU.

Keluarganya yang merasa sesuatu yang buruk terjadi, terpaksa mengikuti langkah Krist. Lagi pula, siapa yang berani melarang mereka untuk masuk tanpa prosedur?

Ketika kakinya sudah terpijak sempurna pada ruangan yang menaungi anak bungsunya. New hampir saja kehilangan keseimbangan tubuhnya melihat apa yang terjadi.

Tampak jelas oleh mereka, bungsu Vihokratana itu berada dalam kondisi yang sangat kritis. Napasnya tersendat-sendat, padahal ventilator masih terpasang untuk membantunya bernapas.

Krist, Dokter Pui, dan dua perawat tampak sibuk menangani Nanon. Menyuntikan beberapa obat, termasuk penguat jantung karena Elektokardiograf menunjukan penurunan pada detak jantung pria berpipi lesung itu.

"Nong-kub, bangunlah. Jangan seperti ini." sembari menyuntikan obat, Krist menangis terisak. Hingga akhirnya remasan pelan berada di bahunya. Itu adalah tangan Dokter Pui.

Berulang kali wanita itu mengatakan pada Krist jika usaha mereka akan sia-sia. Kanker stadium akhir, yang sudah menyebar ke berbagai organ lain. Dengan penyakit fibrosis paru yang tak ada harapan lagi, tentu menahan Nanon seperti ini hanya akan menyiksa pria malang itu.

"Tidak. Nanon harus tetap ada. Dia tidak boleh meninggalkanku." Tegas Krist dengan air mata yang sudah membasahi wajahnya. Menepis kasar tangan Dokter Pui dan kembali terfokus pada Nanon. Mengabaikan tangis yang bersahut-sahutan disekitarnya.

"Nanon-kub, bangun. Kau tidak bisa seperti ini. Kau harus berada di sisi Phi selamanya. Bangun, Nong."

Krist mengusap kasar rambut hitam Nanon yang mulai pudar. Kondisi ponakannya tak membaik sedikit pun. Napasnya masih tersendat, dengan sentakan kasar di dadanya berulang kali. Seakan paru-parunya sudah memberontak lelah.

Sesungguhnya, Nanon sudah berada diambang batas hidupnya. Tapi siapa sangka, disaat seperti itu dia masih memikirkan janjinya dulu. Dia masih ingin menjadi adik yang baik. Karena mereka belom melepaskan Nanon.

"Kau mendengar Phi kan, Nong? Sesakit apa pun kau harus----"

"Phi Krist, sadarlah." Pluem memotong perkataan Krist dengan lirih.

Di saat semua orang seakan sudah tidak berdaya hanya untuk berdiri tegak. Pluem masih bisa berjalan mendekati adik bungsunya. Menatap Krist yang ada dihadapannya, lalu menunduk. Beralih menatap kepala Nanon yang tampak menengadah.

"Hhhgg~ Hhhgg~"

Suara tarikan napas yang teramat menyakitkan itu membuat Pluem memejamkan matanya sejenak. Hatinya sungguh sakit. Perasaannya benar-benar hancur tak berbentuk lagi.

"Bukankah aku adik yang baik, Phi? Aku hanya akan menyerah jika kalian yang memintanya,"

Pluem membuka matanya, Nanon pasti sudah lelah. Tapi mereka semua menahannya dengan keras. Tak membiarkan Nanon pergi walau pria itu sudah tak mampu.

"Nanon lelah, sayang?" tanya Pluem lirih, tepat disamping telinga Nanon.

Suaranya benar-benar tercekat. Pluem tak sanggup untuk berkata lagi. Tapi dia harus. Walau sakit sampai rasanya ingin mati, Pluem tetep harus mengucapkannya pada Nanon.

The Vihokratana Family [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang