Sudah 6 bulan lamanya Dewa dipindahkan ke Jepang. Selama itu pula Indi selalu bersama Beni, Silvi, dan Rio.
Meskipun ia pernah ingin menjenguk Dewa ke Jepang, tetapi keluarganya tak mengizinkannya. Alhasil Beni selalu berhasil membujuk dan membuatnya tersenyum lagi.
Siswa-siswi dengan seragam yang sama berkeliaran kesana kemari di lapangan yang luas. Kepang dua dengan pita warna-warni. Indi terkekeh mengingat kembali ketika pertama kali ia masuk di sekolah ini dan mulai mengejar-ngejar siswa bernama Dewa Putra Ardinatha itu.
Para anggota OSIS mulai mengumpulkan para anggota MOS itu di lapangan. Anggota OSIS telah dipilih kembali menggantikan posisi Dewa dan teman-teman OSIS lainnya yang kini sudah duduk di bangku kelas dua belas.
Saat fokus menatap ke arah lapangan, tiba-tiba eskrim vanilla muncul tepat di depan matanya. "Lagi liatin apa?"
Indi menoleh ke arah sampingnya. Laki-laki yang kini masih setia menjadi kekasihnya itu menatap Indi sambil memakan eskrim miliknya.
"Lagi liatin Beni," ucap Indi dengan senyum kecilnya.
"Ekhem. Cair nih es krimnya! Gak mau di makan?" ucap Beni mengubah topik.
"Makasih ya," ucap Indi terkekeh lalu mengambil es krim dari tangan Beni.
"SELAMAT PAGI PARA CINTAKU!" teriak Rio dari ujung lorong menghampiri Indi dan Beni di susul Silvi di belakangnya.
"RIO! TAS LO GUE LEMPAR JUGA NIH!"
Dua sejoli itu masih tetap sama. Berantem kalau ketemu, tapi kangen kalo gak ketemu. Hadehhhh.
"Pagi-pagi udah makan es krim aja nih!"
BRUK!
"AHHHH SIALAN KEPALA GUE!!!" Rio mengumpat setelah Silvi melemparnya dengan tas.
"Enak aja main suruh-suruh bawain tas! Gue bukan assisten lo ya!"
"Kamu disuruh sekali aja gak mau! Aku udah sering bawain tas kamu!"
"Gak ada yang nyuruh lo bawain tas gue!"
"Ndi, telinga kamu baik-baik aja kan? Masih bisa mendengar kan?" tanya Beni kepada pacarnya itu untuk menggoda Rio dan Silvi.
"Kayaknya telinga Indi bisa sakit deh kalo kelamaan denger mereka ngoceh," ucap Indi mengusap-usap telinganya.
"Mending ke kelas aja yuk," ucap Beni merangkul Indi yang tingginya lebih rendah darinya.
"Dadah Silvi! Dadah Rio! Kalian lanjut aja ya!"
Beni dan Indi berjalan meninggalkan Silvi dan Rio yang kini menatap mereka tak percaya.
"Rio sama Silvi gak capek apa ya setiap ketemu berantem mulu," ucap Indi sambil memakan es krimnya.
"Tanya aja sama mereka,"
BRUKKK!!!!
"E-eh m-maaf kak, a-aku g-gak s-sengaja, a-aku harus buru-buru k-ke lapangan,"
Seorang siswi dengan pita warna-warninya menatap Beni merasa bersalah karena telah menabraknya.
Indi yang tak suka pacarnya ditatap seperti itu langsung memeluk pinggang Beni erat. "Gak papa," ucap Indi menatap siswi itu.
"K-kalo g-gitu a-aku permisi dulu," ucap siswi itu sambil membungkuk sopan lalu pergi meninggalkan mereka berdua.
Beni langsung mendorong kepala Indi agar menjauh darinya. "Cemburu?" tanya Beni terkekeh.
Tanpa pikir panjang-panjang Indi langsung mengangguk mengiyakan ucapan Beni.
"Gak usah cemburu, Beni cuma milik Indi," ucap Beni langsung merangkul Indi dan berjalan kembali ke kelasnya. Indi mengedipkan matanya berkali-kali menghilangkan rasa gugupnya.
"Tuh yang! Kayak mereka dong rangkulan!!!"
"Udah jalan aja jangan ribet-ribet!" ucap Silvi menarik tangan Rio seperti menarik kambing.
"Mbekkk..."
---
"Kalian ini sudah mau lulus tapi kelakuan masih gak jelas! Suka bolos pelajaran! Gak ngerjain tugas! Kerjaannya ngebucin mulu! Kalian gak pernah mikirin perasaan bapak sedikit aja hah?!"
"Ngapain mikirin perasaan bapak, bapak kan bukan pacar saya,"
"JANGAN NGEJAWAB!"
Indi terkekeh melihat kelakuan Beni yang selalu membuat guru menghela napas. Untung saja ia sudah pensiun menjadi ketua kelas.
"Kalian ini sudah sekolah 10 tahun masih aja kelakuan kayak anak SD!"
"Itu namanya awet muda pak!"
"DIAM!" Seluruh siswa di kelas Indi langsung menahan tawanya melihat wajah Pak Godja yang sudah seperti kepiting rebus.
"Punya mimpi kalian?! Gak mau ngebanggain orang tua yang sudah bayar biaya hidup kalian?! Masih mau sekolah gak?!" Suasana kelas tiba-tiba hening tanpa suara setelah Pak Godja berbicara demikian.
"Kenapa diam aja?! Kalo ada guru tanya itu dijawab! Gak punya mulut kalian?!"
"Selain cewek, Pak Gotcha memang selalu benar."
---
"Bapak-bapak yang tadi di kelas kalian suaranya melebihi suara gue kayaknya. Sampe guru yang ngajar di kelas gue kabur kagak jadi ngajar!"
"Bilang aja lo seneng kan?!" Silvi melototi Rio.
"Ya seneng lah! Gimana ceritanya ada adik kelas yang lagi MOS kita malah dikasi belajar! Mending disuruh tidur aja di rumah!"
"Lo aja sana yang gak usah ke sekolah!" ucap Beni ikut mengompori Rio.
"Kalo gak ke sekolah nanti gue gak bisa tepe-tepe sama adik kelas dong," jawab Rio dengan wajah sok sedihnya. Silvi yang mendengar ucapan Rio kemudian berdecak lalu ia mendapat ide setelah melihat seorang adik kelas sedang berjalan sambil membawa setumpuk buku.
"Permisi dek, mau kakak bantu?"
"E-eh g-gak usah kak,"
Rio langsung menghampiri Silvi dan menarik tangannya. "Gitu ya kelakuan kamu sama aku!"
"Apa bedanya lo sama gue?"
"Mulai lagi dah tuh!"
"Udah biarin aja, aku anter kamu pulang ya," ucap Indi merangkul dan mengacak rambut Indi.
"Tapi beli es krim dulu,"
"Sekalian aku beliin mesinnya mau?"
"Gak usah! Kalo kayak gitu Indi gak ada alasan buat jalan sama Beni dong!" Beni tersenyum lebar setelah mendengar ucapan Indi. Setidaknya usahanya tidak sia-sia. Ia berhasil bikin Indi tersenyum.
"Gue udah nepatin janji gue ke lo, Dewa."
-----
KAMU SEDANG MEMBACA
INDIRA [COMPLETE]
Teen Fiction(FOLLOW DULU SEBELUM BACA) Fanart (pinterest) Sinopsis : Indira Gialova Danendra, mengalami sebuah kejadian di masa lalunya yang merenggut nyawa ibu kandungnya. Setelah kejadian itu, ia kehilangan setengah ingatannya dan mengalami phobia yang sangat...