Keesokan paginya, kami sudah berada di negara yang berbeda, Hongaria. Setelah menginap semalaman di bus, akhirnya aku menjejakkan kaki di Budapest. Perasaan lelah dan badan yang remuk karena kembali bermalam di bus, perlahan hilang tergantikan semangat menyambut destinasi baru.
Semangatku tercermin dari senandung lagu yang kunyanyikan sembari sesekali melompat kecil. Tanganku bebas nggak memegang apapun, Mas David berkeras membawa koperku. Hatiku penuh oleh rasa gembira menyambut kota keempat yang kuinjak seumur hidupku.
"Dek, baterai kamu kembali full lagi ya?"
Aku tersenyum lebar "Iya Mas! Aku ngerasain hawa yang beda sama Praha. Hostel kita masih jauh Mas?"
"Sebentar lagi kok. Awas, hati-hati Dek, itu kamu hampir nabrak orang loh."
Aku meringis, nyaris saja aku menabrak pasangan di belakangku, akibat mengobrol dengan Mas David sambil berjalan mundur. Mas David segera menyusul langkahku lalu menggandeng lenganku.
"Biar kamu nggak pecicilan."
Beberapa menit kemudian kami tiba di Maverick City Lodge, hostel tempat kami menginap. Kemudian aku dan Mas David melakukan ritual seperti sebelumnya, menitip luggage dan menumpang mandi. Tidak lupa memanfaatkan wifi untuk mengabari keluargaku. Ah, rupanya Mas David sudah mengirim pesan duluan di grup keluargaku. Ada untungnya juga dia jadi member baru.
Setelah itu kami beranjak keluar mencari tempat money changer dan mencari toko kebab untuk sarapan pertama di Budapest. Cukup murah, praktis, dan mengenyangkan.
Budapest terdiri dari distrik Buda, Obuda, dan Pest. Hostel kami berada di area Pest. Distri Buda dan Pest dipisahkan oleh sungai besar Donau. Oleh karena itu kami memutuskan menyusuri tempat wisata di distrik Pest untuk pagi ini. Destinasi pertama kami hari ini adalah Dohany street sinagogue, Gedung Parlemen Hongaria, St Stephen's Basilica, dan berakhir di Terror Háza.
Sejak awal destinasi kami hanya datang sekedarnya, mengabadikan foto, berkeliling sebentar, lalu melihat peta kembali untuk fokus mencari rute transportasi menuju destinasi berikutnya.Kondisi tubuh yang lelah membuat perut lebih cepat lapar. Akhirnya terdamparlah kami di resto sederhana di seberang St Stephen's Basilica. Aku bahkan pasrah pada menu yang dipesankan Mas David. Apa sajalah yang penting cacing-cacing di lambungku segera diumpani makanan.
Hanya butuh waktu lima menit untuk mengosongkan isi piringku. Mas David sudah nggak kaget lagi dengan cara makanku yang gragas, apalagi saat kelaparan. Bahkan dia menawarkan sebagian porsi makannya untukku. Maaf, rasa jaim sudah kubuang jauh entah sejak kapan. Prinsipku sekarang adalah malu pangkal kelaparan. Jadi tentu saja aku lahap pemberian makanan itu, rejeki jangan ditolak.
Sisa waktu di tempat makan kami habiskan untuk berbincang santai. Aku dan Mas David sepakat untuk menjalani trip dengan santai dan nggak terburu-buru, nggak harus semua tempat wisata dikunjungi, seperti dikejar waktu atau deadline. Yang penting kita berdua enjoy dan happy.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Wanna Get Lost With You [COMPLETED]
RomanceDua minggu sebelum kepulangannya ke Indonesia, Lily tiba-tiba diputuskan pacarnya secara sepihak. Saking galau dan frustasinya, alih-alih pulang, tanpa pikir panjang dia malah memutuskan untuk menghabiskan liburan musim panasnya dengan jalan-jalan k...