34. The Last Amsterdam?

19.6K 2.5K 330
                                    

Semalam aku ketiduran. Berakhir terbangun karena mimpi buruk. Dahiku basah oleh keringat. Astaga, aku mimpi Indri keguguran. Tapi di dalam mimpi itu anaknya sudah besar seperti bayi lima bulan. Lalu bayi itu menangis di hadapanku, seperti menyalahkanku. Akupun bingung mengapa janin yang meninggal masih bisa menangis. Mimpiku sungguh random, tapi rasa takutnya terasa nyata.

Huft, sepertinya benar apa kata Papa. Aku nggak boleh lari dari masalah. Nggak boleh menunda-nunda masalah.

Aku meraih ponsel. Jam digital menunjukkan pukul setengah enam pagi. Aku segera meraih perlengkapan mandi. Sebaiknya aku harus segera mandi dan solat subuh. Lalu packing sebelum mengurus masalah Gema.

Aku turun pelan-pelan dari atas ranjang. Nggak ada Mas David di ranjang bawah. Aku kira aku sudah bangun terlalu pagi. Ternyata tetap kalah pagi dari Mas David.

Aku mandi sangat kilat. Sesampainya di kamar, wajah segar dan wangi khas Mas David menyambutku. Dia terlihat terkejut melihatku baru masuk kamar.

"Kamu baru selesai mandi? Saya kaget lihat kasur kamu kosong Yi."

"Iya tadi aku kebangun. Yaudah sekalian aja mandi. Abis ini mau solat dulu baru packing." Jawabku pelan. Takut roommate kami yang lain terbangun.

Waktu menunjukkan pukul tujuh pagi ketika koperku sudah rapi. Aku menyisakan baju ganti untuk nanti malam di dalam ransel. Karena akan naik sepeda, aku memprediksikan bajuku pasti banjir keringat.

Lima menit yang lalu aku sudah mengirim chat pada Indri. Tapi nggak ada balasan. Bahkan masih ceklis satu. Aku berkali-kali menatap layar ponsel. Nggak kunjung berubah. Tetap ceklis satu.

Aku kembali menunggu sembari mengepang rambutku, saking nggak ada kerjaannya. Menyerah karena bosan, akhirnya aku merapikan baju-baju Mas David. Sehabis mandi Mas David sibuk sekali dengan laptopnya. Dia belum sempat packing.

"Nggak usah Yi. Nanti saya aja yang packing."

"Aku nggak ada kerjaan."

Mas David menepuk kasur di sebelahnya. "Sini, duduk sebelah saya. Saya mau minta tolong bantu cek ada typo atau engga."

Karena Mas David yang sangat sibuk, akhirnya kami baru checkout pukul 9 pagi. Dia menghampiri meja resepsionis untuk mengurus proses check out. Mulai dari menyerahkan kunci, menitip koper dan barang bawaan kami, serta menunggu uang deposit kamar cair.

Aku duduk di lobi menunggu Mas David. Tiba-tiba ponselku bergetar. Ada balasan chat dari Indri. Aku langsung pergi mencari toilet. Aku butuh ruangan yang sepi untuk berbicara dengan Indri.

Aku segera menghubungi Indri, mumpung dia masih online.

"Halo Ly," sahut suara lemah di seberang sana. Emosiku yang sedang meluap dan siap dimuntahkan perlahan surut.

"Assalamualaikum Ndri. Lagi dimana?"

"Waalaikumsalam. Aku masih opname di rumah sakit," jawabnya dengan suara pelan dan parau. Hilang entah kemana sikap angkuh Indri seperti beberapa hari yang lalu. Kekesalanku berganti menjadi rasa iba. Membayangkan Indri yang tengah berjuang mempertahankan kehamilannya.

Aku menghela napas dalam. "How are you?"

"Udah mendingan. Besok udah boleh pulang, lanjut bed rest di rumah."

"Ada Gema?"

"Ada. Lagi di kamar mandi." Suaranya bergetar, seperti menahan tangis.

Hening beberapa saat.

"Gue mau ngomong sama kalian berdua. Gue mau Gema juga denger", sahutku.

"Tolong bilang Gema supaya jangan tinggalin aku Ly." Tangisan Indri pecah. Dia mulai sesenggukan.

I Wanna Get Lost With You [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang