"Sama saya aja. Berdua," Mas David mengajukan diri.
Hening beberapa detik, karena anak-anak PPI terlalu kaget mendengar ucapan Mas David. Aga memecah suara pertama untuk menyoraki kami. Diikuti riuhan anak-anak PPI lain yang meledek kami.
Aku kesal sekali. Apa sih maksudnya Mas David? Sudah menolakku, membuatku jadi bahan bulanan anak-anak PPI pula. Aku nggak mau mereka berpikir kami ada sesuatu. Rasanya ingin membatalkan penawaran diriku. Tapi aku harus bertanggung jawab.
---
"Hei, hei, hei, don't get me wrong. Dilihat dari daftar belanja, pasti barang yang dibeli banyak dan berat banget. Lebih baik belanja pakai mobil saya. Toh bahannya juga pasti ditaruh di rumah saya."
Iya juga ya. Lily bodoh. Aku nggak kepikiran harus menaruh barang belanjaan di rumah Mas David. Tahu gitu aku nggak sok ide menawarkan diri.
"Yaudah sekalian lo pacaran ya Mas," tukas Prabu.
"Kak Prab, aku nggak pacaran sama Mas Dave," teriakku. Aku takut orang-orang salah paham.
"Santai dong neng Lily. Yaudah mau patungan berapa dulu nih? 10 € cukup nggak ya? Atau 15 aja dulu, sisanya masuk kas atau dibagi-bagi lagi."
"Nggak usah. It's on me. Saya yang bayar."
"Asik, dapet pajak jadian ya kita. Semoga samawa ya Mas Dave sama Lily."
Semua anak PPI ikut mengucapkan terima kasih.
"Bukan kok. Kalau pajak jadian nanti beda lagi."
Seluruh penghuni di rumah Prabu semakin semangat teriak menyoraki, berbanding terbalik dengan amarahku semakin meluap.
Mas David mengusap bahuku. "Hei, sorry, Lily. Just kidding ya guys."
Sejujurnya aku ingin sekali membatalkan pengajuanku untuk belanja bahan. Tapi atas dasar rasa tanggung jawab, terpaksa aku menjalaninya dengan setengah hati.
Setelah percakapan mengenai ATM Mas David yang gagal aku kembalikan, nggak ada lagi percakapan di antara kami. Setelah rapat selesai aku langsung pulang. Sengaja menghindari Mas David.
Aku sempat berharap semoga Mas David lupa dengan tugas belanja kami. Jadi biar aku dan Uwi saja yang belanja. Tapi tentu saja mustahil. Seorang Mas David nggak akan pernah lari dari tanggung jawab.
Sebelum tidur, aku melakukan ritual kegalauanku. Mendengarkan lagu sambil menonton video liburanku dan Mas David kemarin. Ah, perasaan rindu kembali menyusup. Pas sekali, aku menerima chat dari Mas David.
Seperti biasa, Mas David si pengambil keputusan tanpa diskusi. Dia hanya memberitahu besok akan menjemputku pukul satu siang. Dia bahkan nggak bertanya pendapatku. Ya sudah lah nggak perlu aku balas. Hanya FYI (For Your Information) saja kan?
Keesokan paginya, Mas David mengirim chat padaku lagi. Hanya untuk reminder yang nggak perlu aku balas.
Entah mengapa aku bangun dengan perasaan yang lebih ringan. Sehingga aku memulai hari dengan penuh semangat. Dari mulai jogging, mencuci baju, mengeringkan lalu melipatnya. Tak lupa memasak makanan lalu mencuci piring. Bahkan aku mengelap ulang piring di dalam rak.
Waktu menunjukkan pukul setengah 11 ketika aku akan mandi. Aku mengecek ponsel, rupanya Mas David mengirim pesan padaku lagi. Kali ini bertanya apakah aku bisa berangkat jam 1. Walaupun pertanyaannya sudah basi, tapi aku menghargainya. Jadi aku balas saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Wanna Get Lost With You [COMPLETED]
RomanceDua minggu sebelum kepulangannya ke Indonesia, Lily tiba-tiba diputuskan pacarnya secara sepihak. Saking galau dan frustasinya, alih-alih pulang, tanpa pikir panjang dia malah memutuskan untuk menghabiskan liburan musim panasnya dengan jalan-jalan k...