35. Extended Night

20.9K 2.9K 247
                                    

Maunya part terakhir trip mereka, tapi lebih dari 8000 kata, aku susah ngeditnya. Jadi aku bagi dua ya, next part masih proses edit. Mostly isinya percakapan ya. Semoga nggak bosaan.

"Berdasarkan silsilah keluarga, Raka memang sepupu saya. But for my family, he's the third son. Orangtua kandungnya, yaitu adiknya Bapak, meninggal karena kecelakaan, saat Raka umur empat tahun. Since that day, Raka lived with my parents. Raka and I were raised together. He's more than my cousin. He's my younger brother." Mas David menceritakan tentang Raka dengan wajah sumringah.

"Kamu kelihatan sayang sama Mas Raka."

"Of course. Walaupun kita sering terpisah. Dulu saya nggak pandai beradaptasi dengan lingkungan baru. Bapak sering mutasi, setiap beberapa tahun sekali pindah. Jadi saya lebih memilih tinggal bersama Kakek. Beda dengan Raka yang selalu tinggal dengan Ibu Bapak."

Kami baru saja tiba di Stasiun Den Haag. Sejak di kereta Mas David menceritakan mengenai keluarganya secara panjang lebar. Kalau dipikir-pikir, dibanding aku, Mas David memang lebih jarang menceritakan dengan detail tentang keluarganya.

Emangnya lo siapa Ly? Batinku berteriak. Oh iya, aku lupa. Aku kan bukan siapa-siapa.

Langkah kami terhenti tepat di pelataran depan Stasiun Den Haag. Mas David mendapat panggilan telepon. Aku diam menunggu.

Dari hasil menguping, aku menyimpulkan dia sedang janjian dengan seseorang. Tapi entah siapa.

Tak lama ada sebuah mobil MPV mewah berhenti di hadapan kami. Seorang lelaki berumur keluar dari kursi pengemudi, lalu menghampiri kami.

"Maaf telat Mas David. Tadi antar tamu dulu."

"Oh nggak apa, Pak Kasim. Apa kabar Pak? Sehat?" Mereka bersalaman.

"Baik, Alhamdulillah. Sudah lama saya nggak ketemu Mas David. Makin ganteng aja. Ini saya angkut kopernya ya, Mas." Pak Kasim hendak mengangkat koperku.

Mas David menghalanginya. "Nggak usah Pak. Biar saya sendiri aja. Tolong buka pintu bagasi aja Pak."

Aku masih celingukan seperti orang bodoh. Ini maksudnya kami dijemput?

"Siap. Oh, ini temannya Mas David ya? Kenalin Mbak, saya Kasim. Driver Pak Dubes."

"Salam kenal Bapak. Saya Lily, Pak." Aku membungkuk dan meraih tangan Pak Kasim lalu menyaliminya, layaknya salim ke orang yang lebih tua.

"Duh ndak usah salim segala Mbak. Ndak enak jadinya saya. Sebentar saya tinggal ya Mbak. Saya buka pintu bagasinya dulu."

Aku terpekur di tepi jalan. Masih mencerna keadaan.

"Ayo masuk Ly," ucap Mas David dengan santai.

"Kita dijemput? Nggak naik bus atau tram? Kok kamu nggak bilang Mas?" Aku menuntut jawaban.

"Maaf saya lupa. Begitu tau saya mau ke Den Haag, Ibu langsung suruh Pak Kasim jemput."

Perutku langsung melilit. Tadi di dalam kereta menuju Den Haag aku belum merasakan serangan nervous. Tapi setelah duduk di dalam mobil, perutku seketika mulas. Mulas karena panik.

Sepertinya tadi pikiranku teralihkan oleh kekesalanku karena Mas David yang membeli tiket ke Den Haag tanpa diskusi. Nggak memikirkan lebih jauh bagaimana jika berkunjung ke rumah Mas David. Hei, aku akan bertemu dengan Pak Dubes. Nyaliku langsung ciut membayangkan akan bertemu dengan orang penting, secara mendadak.

Aku nggak mengira akan seheboh ini sampai dijemput segala. Aku tertunduk lemas. Lalu tertegun dan melebarkan mata saat menyadari outfitku malam ini enggak banget. Sepasang hoodie dan celana training! Khas orang mau pergi tidur, bukan berkunjung ke rumah orangtua gebetan. Apalagi orangtua gebetanku adalah orang penting.

I Wanna Get Lost With You [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang