33. I Amsterdam

17.6K 2.4K 357
                                    

Kaget nggak udah update lagi aja? Aku juga 🤣. Biasanya hampir sebulan yekaan.

Telepon dari Mami Gema mati saat aku baru mengangkatnya. Diam-diam aku merasa lega. Aku rebahan di kasur, menerawang dan menebak-nebak. Ada apa sampai Mami Gema meneleponku.

Badanku terasa lengket. Rasanya ingin segera mandi. Aku bersiap mengambil handuk dan peralatan mandi. Saat akan beranjak dari kasur, aku melihat layar ponselku menyala. Mami Gema lagi. Perutku tiba-tiba melilit.

Sambil malas-malasan akhirnya aku membawa ponsel ke dalam toilet. Sekalian buang hajat lalu mandi.

Dengan menarik napas dalam dan mengucap bismillah, aku mengangkat telepon tersebut. "Assalamualaikum Tante." Sapaku sopan dan pelan.

"Kurang ajar ya kamu, ganggu rumah tangga anak saya! Jadi perempuan punya harga diri ya Ly. Kayak nggak ada laki-laki lain aja. Ngapain kamu ganggu suami orang?" Aku sempat memberi jarak ponselku menjauh dari telinga. Karena teriakan Mami Gema yang sangat memekikkan.

"Waalaikumsalam. Maksudnya apa ya tante? Tiba-tiba marah-marah. Saya nggak merasa melakukan apa-apa."

"Indri pendarahan dan pingsan setelah cekcok dengan Gema. Gara-gara kamu! Kalau ada apa-apa dengan janinnya, tante tuntut kamu ya! Ngapain kamu masih hubungi Gema? Dasar perempuan gatel. Move on dong Lily. Percuma kamu jauh-jauh kuliah ke luar negeri kalau otak kamu nggak dipakai."

Hatiku memanas mendengar ucapan Mami Gema. Aapalagi aku nggak merasa menghubungi Gema. Mengapa aku selalu disangkutpautkan sih?

"Saya udah block nomor Gema." Aku berusaha menjaga nada bicaraku tetap pelan.

"Jangan mengelak. Indri bilang beberapa hari lalu ada panggilan masuk dari kamu! Siapa lagi perempuan yang namanya Lily selain kamu! Tolong ya jangan kegatelan. Jangan rusak rumah tangga anak saya!" Aku ingin menjawab namun ucapanku terpotong. Lagipula lidahku menjadi kelu. Aku nggak terbiasa dimaki oleh seseorang. Mama papaku saja nggak pernah membentakku sekalipun. Dibentak dan dihina orang lain karena bukan kesalahanku sendiri rasanya sangat menyedihkan. Air mataku meluncur tanpa bisa kucegah.

"Saya sudah laporkan kelakuan kamu kepada orangtua kamu. Biar mereka bisa didik kamu dengan benar! Punya anak kok binal sekali kelakuannya." Mami Gema langsung mematikan saluran telepon.

Astaga. Jantungku langsung merosot. Rasanya sudah jatuh ke kaki. Membayangkan Mami Gema memaki-maki kedua orangtuaku. Napas di dadaku menjadi lebih sesak. Aku memukul-mukul dada yang terasa nyeri.

Sumpah serapah kuucapkan pada Gema di dalam hati. Nggak mungkin kan aku teriak-teriak sendiri di dalam toilet umum. Dasar Gema brengsek! Kurang ajar! Masih aja nyusahin orang!

Di tengah isakanku, layar ponselku menyala. Telepon dari papa. Jantungku serasa diremas. Tanganku dingin dan gemetaran. Nggak siap menghadapi respon papaku. Pasti Mami Gema juga memaki dan menghina kedua orangtuaku. Pasti mereka sangat sedih dan sakit hati.

Akhirnya dengan pasrah, aku mengangkat telepon. Takut mereka semakin khawatir kalau aku nggak ada kabar.

"Halo Assalamualaikum Adek."

Aku menyeka air mata. Memaksa menghentikan tangisanku. Dengan suara bergetar aku menjawab, "Waalaikumsalam Papa. Mama sama Papa sehat?"

"Alhamdulillah. Kalau Adek gimana? Baik-baik aja?"

Engga Pa. Aku nggak baik-baik aja.

"Alhamdulillah Pa. Mama mana Pa?"

"Ada. Ini di sebelah Papa. Sekarang bagian Papa yang telpon Adek. Kan kemarin Mama udah." Biasanya Mama dan Papaku berebut untuk berbicara padaku. Tapi aku tau alasan Mamaku diam saja. Terdengar suara menangis pelan di seberang sana. Aku yakin itu suara Mama. Air mataku semakin deras. Aku menutup mulut mencegah suara isakan keluar.

I Wanna Get Lost With You [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang