Kami check out dari hostel sedari subuh. Sejak pukul 5 pagi aku dan Mas David sudah duduk anteng di dalam flixbus yang membawa kami ke Paris. Ini akan menjadi perjalanan yang cukup lama, 10 jam. Mau bagaimana lagi, naik pesawat jelas bukan pilihan. Membeli tiket kereta di musim panas secara mendadak juga pasti harganya setinggi langit.
Aku sudah mati gaya, berganti-ganti posisi duduk. Mas David masih saja tertidur. Tumben. Wajahnya pun lebih pucat. Dia terlihat nggak nyaman dalam tidurnya.
"Mas, udah jadwal lunch. Makan rotinya dulu," tawarku saat Mas David akhirnya terjaga.
"Hmm. Kamu aja dulu."
"Aku udah makan, Mas. Tinggal sisa punya kamu."
"Yaudah buat kamu aja, Yi," jawabnya sambil memejamkan mata.
"Muka kamu pucet, Mas. Kamu sakit?"
"Hmm ... Enggak. Cuma kurang tidur aja."
"Yaudah ayo makan dulu. Takut beneran sakit. Sini buka mulutnya. Aaaaaa ..." Mulutku ikut terbuka saat Mas David mulai melahap roti bagiannya. Masih sambil memejamkan mata.
"Ngantuk banget ya? Emang semalem tidur jam berapa, Mas?"
"Jam 5 pagi, Yi." Dia mengunyah dengan pelan.
"Ya Allah. Kamu baru tidur di bis? Semaleman nggak tidur di hostel? Ngapain aja semalem?"
"Banyak deadline, Yi."
"Astagaaa. Gila kamu, Mas. Kamu kurang tidur loh dari kemarin. Kerja boleh aja, tapi tau waktu dong. Nih, minumnya Mas." Aku gregetan juga melihat Mas David daritadi masih mengunyah, satu suapan roti tadi belum juga ditelannya. Siapa tau dengan bantuan air menjadi lebih cepat tertelan.
Tepat pukul 3 sore, akhirnya bus kami tiba di Paris Bercy Bus Station. Mas David masih terlelap, setelah satu jam yang lalu berhasil menghabiskan rotinya.
"Mas, udah sampe." Aku mengguncang lengannya pelan. Astaga. Tubuh Mas David terasa panas.
"Mas, kamu demam? Ya Allah. Gimana doong. Kamu bisa jalan nggak, Mas? Aduh, obat-obatan kita ada di dasar koper." Aku panik dan nggak bisa berpikir. Mas David terlihat sangat lunglai.
"I'm okay, Yi."
"Oke-oke, apanya yang oke? Badan kamu panas gini, Mas." Aku melihat satu persatu penumpang telah turun dari bus. Kami nggak mungkin terus berdiam diri di dalam sini.
"Mas, kamu masih sanggup jalan nggak? Kita pesen taksi aja ya?"
Akhirnya dia membuka kedua matanya. Mata Mas David berair dan sangat merah. Mungkin karna demamnya yang semakin tinggi.
"Kita udah sampai ya? Saya masih sanggup jalan, Yi. Ayo keluar."
"Tunggu dulu. Penginapan kita ada dimana? Biar aku cari."
"73 rue d'Alésia, Yi. Dekat metro Alésia."
"Sebentar aku cari di google maps dulu. Mumpung masih ada wifi." Aku mulai menyimpan peta secara offline, sambil menghapal jalur metro. Tanganku bergetar saking paniknya.
"Yakin kamu sanggup naik metro? Kita naik taksi aja ya, Mas." Aku takut Mas David nggak mampu naik turun tangga dengan kesadarannya yang tinggal setengah.
"Yakin. Saya cuma sakit kepala biasa," jawabnya pelan.
Dengan kondisinya yang sudah separah ini, dia masih saja bersikeras ingin menggotong koperku menuruni tangga metro. Karena nggak mau memperpanjang keributan, akhirnya kubiarkan saja. Padahal tangannya sudah gemetaran.
Setelah perjuangan besar, akhirnya kami bisa duduk manis di dalam metro. Berdasarkan petunjuk, kami harus menaiki metro line 6 dari Quai de La Gare arah Charles de Gaulle Etoille, lalu turun di stasiun Raspail untuk transit ke metro line 4 jurusan Mairie de Montrouge. Hanya melewati 3 stops untuk mencapai metro d'Alésia
Di saat genting seperti ini, rasanya otakku mendadak encer dan cemerlang dalam hal membaca peta. Syukurlah Mas David telah membekaliku ilmu membaca peta, setelah aku kesasar di Roma kemarin.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Wanna Get Lost With You [COMPLETED]
RomanceDua minggu sebelum kepulangannya ke Indonesia, Lily tiba-tiba diputuskan pacarnya secara sepihak. Saking galau dan frustasinya, alih-alih pulang, tanpa pikir panjang dia malah memutuskan untuk menghabiskan liburan musim panasnya dengan jalan-jalan k...