13. Before Sunset in Vienna

26.9K 2.9K 195
                                    

Sinar matahari menembus celah tirai dan menerpa wajahku. Aku terbangun karena silaunya. Aku memicingkan mata untuk beradaptasi dengan cahaya. Hal yang pertama kulihat di pagi hari adalah sosok Mas David yang masih tertidur pulas di atas sofa bed.

Sudahkah aku bilang bahwa Mas David berkacamata? Visualnya memang mencerminkan sosok intelek yang sempurna dengan kacamata yang selalu membingkai di wajahnya. Namun, pagi ini pengecualian. Ini kali pertama aku melihat wajahnya polos tanpa kacamata.

Biasanya Mas David tidur lebih larut dariku dan bangun lebih dulu. Tumben sekali jam segini dia masih terlelap. Ipadnya berada di atas perut dan dalam genggaman tangannya. Sejadah travel masih tergelar di atas lantai. Tampaknya dia ketiduran usai solat subuh.

Aku diam memperhatikan Mas David dari atas kasurku. Wajah Mas David bersih dari jerawat, hanya tertinggal jejak 5 o'clock shadow-nya yang sudah tercukur habis. Sinar matahari yang menjatuhi Mas David membuat tubuhnya bercahaya. Dia seperti malaikat yang sedang terpejam. Sepertinya menikmati salah satu ciptaan Tuhan yang indah selama 5 menit lebih lama adalah ide yang bagus. Meuni ganteng ih jodohnya orang! Ya Allah, semoga jodoh hamba kelak seganteng Mas David, kalo nggak ganteng minimal sepinter Mas David deh ya Allah. Kalo nggak pinter juga, minimal sebaik Mas David. Kalo gak baik juga, yaudah siapa aja deh yang penting mirip Mas David, batinku.

Setelah puas memperhatikannya diam-diam, aku beranjak ke kamar mandi. Masa menstruasi adalah saat-saat dimana aku rajin mandi. Entah mengapa nggak nyaman aja rasanya kalau belum mandi.

Kemudian aku memutuskan untuk membuat roti. Karena nggak ada mixer, aku menguleni adonan roti hingga kalis secara manual. Walau menyebabkan lengan pegal dan lebih berotot, tapi aku sangat senang dengan kegiatan baking. Saking fokusnya dengan adonan, aku nggak sadar Mas David sudah bangun.

Aku terkesiap kaget saat Mas David tahu-tahu berada di belakangku. Mas David memerangkapku dari belakang karena dia sedang berusaha membuka pintu kabinet tepat di atasku. Dia mengeluarkan beberapa bahan makanan. "Morning, Yiyi," ucapnya pelan sambil mengelus rambutku. Aroma pasta gigi menguar dari mulutnya.

"Lagi bikin apa, Dek?" Dia masih memegang puncak kepalaku sambil memajukan tubuhnya dan mengintip adonan dari balik bahuku.

Tubuhku membeku beberapa saat. Kalau kepalaku bergerak menoleh beberapa derajat saja, bisa-bisa kepalaku menyentuh kepala Mas David. Hangat napasnya saja menerpa tengkukku.

"Morning, Mas. Ini aku mau bikin roti isi."

Mas David lebih memajukan tubuhnya beberapa senti. Dia terlihat tertarik untuk melihat lebih jelas. "Oya? Wow. Roti isi apa?" Sekarang sebelah tangannya bertopang di meja kitchen set, sebelah tangannya yang lain merangkul pundakku. Bagus. Andai kami berada di Bandung dan ada tetangga yang melihat kami dari belakang, sudah pasti kami digeret ke KUA, karena terlihat seperti sedang peluk-pelukan mesum di pagi hari.

Jelas aku gugup dan gak bisa berpikir karena otakku tiba-tiba disfungsi beberapa saat. Jadi aku hanya bisa menggeleng, "Bingung, Mas. Any idea?".

"Karna kita warga Indonesia yang baik dan benar, jadi kita nggak akan kenyang kan sarapan sama roti aja. Gimana kalau sarapannya ditambah sama carbonara? Nanti sisa saus carbonaranya untuk isian rotinya. Kan lengkap tuh ada daging sapi dan ayam." Mas David menjauh dariku dan mulai bersandar di meja dapur. Tiba-tiba paru-paruku terasa plong. Apa daritadi aku menahan napas ya?

"Good idea, Mas." Tiba-tiba terbersit pikiran untuk membawa bekal makanan saat jalan-jalan. "Mas, nanti selipin piknik yuk di schedule jalan-jalan kita hari ini. Seru nggak sih kayaknya kalau kita bawa bekel. Aku barusan cek kabinet ada kotak makan."

I Wanna Get Lost With You [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang