2. Gloomy Saturday

34.9K 3.5K 124
                                    

Sehari sebelumnya...

Ini adalah hari sabtu, jadwal aku kencan dengan pacarku. Kencan jaman now yang mengandalkan kecanggihan teknologi, yaitu kencan virtual. Aku sedang menjalani Long Distance Relationship dengan pacarku, Gema. Beruntungnya aku hidup di jaman teknologi sudah maju. Coba kalau belum, aku pasti hanya bisa berbalas surat dengan Gema.

Aku sudah satu tahun menjalani kuliah S2 di Munich Jerman. Sedangkan pacarku bekerja di Jakarta, sedang sibuk mengurusi mutasinya ke Semarang, kampung halamannya.

Aku dan Gema sudah enam tahun pacaran. Tapi masih memperjuangkan restu dari orangtua Gema. Sejak dulu orangtua Gema sudah menyiapkan calon istri untuknya, yaitu tetangga di Semarang. Orangtua Gema selalu menutup hatinya untukku. Di mata mereka nggak ada wanita lain sebaik tetangganya itu. Terlebih aku asli orang Sunda. Entahlah apa alasannya, mereka seperti anti memiliki menantu orang Sunda.

Sudahlah nggak usah dipikirkan dulu masalah restu. Ini hari Sabtu, saatnya senang-senang. Kami selalu janjian menyempatkan waktu video call setiap jam 6 sore waktu Jakarta, atau jam 1 siang waktu Munich. Karena hari ini bulan Juni, maka perbedaan waktu di Jerman dengan Indonesia adalah 5 jam. Sedangkan pada bulan Oktober hingga Maret, perbedaan waktunya 6 jam.

Akupun baru tahu. Saat memasuki musim semi pada akhir Maret, waktu di Eropa akan maju 1 jam lebih cepat. Pada saat pukul 2 pagi, jam elektronik seperti jam di handphone akan tiba-tiba berubah menjadi pukul 3 pagi, kita akan kehilangan waktu satu jam saat tidur. Jadi akan ada 5 jam perbedaan waktu antara Jerman dan Jakarta. Begitupun sebaliknya saat memasuki akhir Oktober, akan dimundurkan kembali satu jam.

Alasannya adalah untuk efisiensi energi listrik. Karena matahari bersinar lebih lama saat musim semi dan musim panas. Pada tahun 1907 ada seorang pengusaha yang pernah memaparkan jika waktu di Eropa bergeser 80 menit saat musim panas, maka akan ada penghematan hingga 2,5 juta poundsterling.

Aku mulai menekan simbol telepon di room chat whatsap web dengan Gema. Terlihat profil picture Gema yang baru saja berubah menjadi foto dia sendiri. Kok tumben? Beberapa tahun terakhir dia selalu memasang foto kami berdua.

Pikiran anehku buyar ketika melihat wajah sayu Gema. Wajah sayunya berbanding terbalik dengan wajahku yang full makeup dan penuh semangat. Iya, aku niat banget makeup dari jam 12 siang demi video call dengan pacarku.

"Sayang, kamu baru bangun? Kok pake hp? Tumben. Kamu keliatan lesu banget," tanyaku khawatir.

"Iya aku baru bangun Ly. Nggak sempet buka laptop. Bentar aku cuci muka dulu." Tiba-tiba wajah Gema berganti gambar langit-langit kosannya. Terdengar suara air mengalir dari keran yang baru dibuka. Tak lama wajah Gema yang lebih segar muncul kembali.

"Kamu udah makan siang, Yang?"

"Belum Ly," jawabnya lemas.

"Ih di sana udah magrib tapi kamu belum makan. Makan dulu sanaa, aku tungguin." Kami biasanya memang makan bersama secara online, kehadirannya digantikan oleh sosoknya yang muncul di layar laptopku.

"Hmm, nanti aja. Aku mau ngomong sama kamu." Terlihat mukanya sangat serius. Kok aku jadi deg-degan ya.

"Apaa? Kamu nggak bisa jemput aku di Soetta? Nggakpapa sayang, aku nanti langsung naik damri aja balik ke Bandung dulu." Rencananya memang aku mau pulang dulu ke rumah orangtuaku, minimal setor muka.

"Hmmm. Bukan Ly." Aku melihat mata Gema sudah nggak fokus padaku. Dia mulai melirik jelalatan kemana saja tapi bukan ke arah wajahku.

"What's wrong with you honey?"

"Kamu... Aku... Hmm..." ucap Gema terbata-bata. Aku masih diam menyimak.

"Kita, udahan aja ya Ly?"

"Gema, kamu lagi bercanda atau gimana? Apa kamu masih ngantuk? Iya?" Aku bingung kenapa Gema tiba-tiba berkata seperti itu.

"Aku serius Ly. Aku udah mikirin ini dari kemarin. Aku nyerah Ly, mentok. Mami kemarin masuk rumah sakit. Aku nggak mau jadi anak durhaka Ly." Kali ini Gema melihat mataku sambil berkata pelan dan lirih.

"Kok kamu nggak bilang Mami masuk rumah sakit? Kamu kan udah janji Gem bakal sama-sama berjuang sama aku."

"Sorry Ly. Aku nggak bisa lanjut."

"Apa kamu mau aku balik sekarang juga ke Indo trus mohon-mohon ke Mami? Iya? Aku reschedule tiketnya sekarang ya?"

"Nggak perlu Ly, kamu nggak perlu pulang. Besok aku mau ke Semarang Ly. Minggu depan aku tunangan sama Indri. Sorry."

"Kamu.. kamu.. ngeprank aku kan Gem? Nggak lucu tau Gem!" Suaraku mulai meninggi dan bergetar. Aku berusaha mencegah air mataku keluar tapi nggak bisa. Tanganku sibuk menghapus air mata yang keluar tidak henti-hentinya. Seperti keran air yang bocor, menetes terus meski sudah ditutup rapat.

"Sorry Ly aku baru bilang sama kamu. Dari kemarin aku mau ngomong tapi aku belum siap."

Aku mulai menutup wajahku dengan kedua telapak tangan. Suara tangisanku semakin kencang.

"Aku nggak mau putus, Yang. Aku udah berjuang sampe sejauh ini. Kamu... kamu kan udah janji. Kamu tau sendiri aku mati-matian cari beasiswa untuk lanjut S2 biar seengganya Mami Papi lebih mau nerima aku kalo aku lulusan luar negeri," ocehku sambil terisak seorang diri. Aku masih menelungkupkan wajahku ke atas meja. Aku nggak mau lihat wajah Gema, rasanya nggak sanggup.

"Sorry Ly. Please jangan nangis Ly."

Hatiku jadi semakin sakit. Semua perkataan Gema terlalu mendadak. Bahkan tadi pagi kami masih baik-baik saja, chattingan seperti biasa.

Tuhan, aku sudah berjuang 6 tahun merebut hati Mami Papi Gema. Dari awal Gema selalu berjanji kalau dia mau berjuang sama-sama. Teringat sakit hatiku akan penolakan-penolakan Mami Papi Gema secara halus hingga terang-terangan beberapa bulan terakhir. Aku rela mengorbankan waktuku untuk belajar, bekerja, belajar, bekerja. Supaya aku bisa memantaskan diri dengan keluarganya. Tapi sekarang terasa sia-sia.

Dulu saat rasa sayangku pada Gema belum sebegitu besarnya, seringkali aku meminta putus karena nggak sanggup menghadapi mulut pedas Maminya yang selalu menerorku via sms. Tapi Gema selalu nggak mau putus, dia terus meyakinkan aku kalau kami bisa mendapatkan restu. Tapi sekarang Gema malah menyerah saat rasa sayangku sedang besar-besarnya.

Bahkan tahun lalu dia berjanji akan menikahiku setelah aku lulus dari TUM, tepat di usia tujuh tahun kami pacaran. Tapi secepat itu dia memutuskan menikahi orang lain dalam waktu dekat. Semudah itu Gema memutuskanku. Apa enam tahun hubungan kami nggak ada artinya untuk dia?

Pikiran-pikiran akan perjuanganku yang melelahkan selama enam tahun terakhir semakin memberi luka. Sambil telungkup di meja, aku memukul-mukul dadaku karena rasanya terlalu sesak. Suara tangisanku semakin kencang, setengah jam kemudian semakin memelan dan berubah menjadi senggukan kecil. Tenagaku mulai terkuras habis. Aku sampai lupa Gema masih hadir di layar laptopku.

Sampai dia berkata, "Lily, kamu terlalu baik untuk aku. Aku harap kamu menemukan pria baru yang sebaik kamu, tapi bukan aku orangnya Ly."

Lalu sambungan telepon terputus.

Tiba-tiba Uwi memelukku dari belakang. Mungkin dia sudah lama datang, aku terlalu sibuk menangis hingga nggak menyadarinya.

Kuangkat kepalaku dari atas meja lalu memeluk pinggang Uwi sangat erat. Air mataku membasahi bagian bawah kaus Uwi. Uwi berdiri di sampingku dan balas memeluk kepalaku sambil mengusap-usap punggungku.

"It will pass, it will pass, beb." Uwi mengusap-usap punggungku dengan suara yang bergetar.

"Sakit wiiiii. Sakiiiit." Aku kembali nangis meraung-raung. Terdengar suara tangisan dari dua orang perempuan di kamarku. Aku dan Uwi sama-sama menangis sesenggukan.

I Wanna Get Lost With You [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang