Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pada awalnya, Yang Jungwon pikir hidupnya selama 14 tahun di dunia ini benar-benar hanya akan berputar di situ-situ saja. Melarat, melarat dan melarat.
Makan sekali sehari dengan lauk gorengan, pula. Bahkan dia sering hanya makan gorengan yang dibeli dengan harga seribuan untuk mengganjal perut seharian. Setelahnya, dia akan bekerja apa pun---di tempat yang tentunya mau mempekerjakan dia yang masih di bawah umur itu. Dia bekerja pun bukan tanpa alasan. Cowok dengan dimple di salah satu pipinya itu harus menghidupi diri sendiri, membayar uang sekolah dan lain-lain yang bisa saja mendesak.
Pokoknya sih, jika namanya disebut, orang-orang akan langsung mengingat betapa melarat dan menyedihkannya hidup seorang Yang Jungwon.
"Kamu ini gimana, sih?! Nyuci piring aja nggak benar. Ini masih kotor, ini ada sabunnya. Kamu mau saya pecat, ya?!"
Cowok berdimple itu hanya menghela napas pasrah. "Itu bukan saya yang nyuci, Bu," sahutnya. "Saya tadi lap-lap meja sama nyapu, kok, di depan."
Jungwon berkata jujur, dia tidak berbohong. Namun, ada saja alasan dari sang pemilik warung makan di mana ia bekerja itu untuk mencari-cari kesalahannya. Seperti hari ini contohnya. Jungwon hanya harus bersabar dulu, setidaknya sampai jam bekerjanya hari ini selesai. Tepat sebulan sudah dia bekerja di warung yang super biasa ini dan tentunya ia mengharapkan upahnya.
"Alasan saja kamu!" Sang pemilik warung makan, memelototi Jungwon dengan tatapan tajam. Haduh, Jungwon rasanya ingin mencolok mata ibu-ibu cerewet itu dengan garpu, mencongkelnya lalu merebus bola mata itu dan diberikan ke anjing atau hewan liar lain yang lewat.
"Mulai besok, mending kamu nggak usah datang lagi!" ujar pemilik warung makan itu dengan suara ketus. Dia terlihat merogoh sakunya dan mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan. Menariknya tiga lembar, lantas diberikan kepada Jungwon begitu saja. "Itu gajimu. Jujur saja, selama kamu kerja di sini, nggak becus sama sekali!"
Jungwon mendengkus. Dia mengambil gajinya yang super sedikit untuk upah bekerja selama sebulan penuh---walaupun hanya paruh waktu dari jam pulang sekolah, hingga pukul sepuluh malam saja. Namun, tetap sajalah. Tidak adil rasanya. "Saya permisi," ujar Jungwon cepat. Dia meninggalkan pekerjaannya begitu saja, tidak mengucapkan terima kasih atau berpamitan karena enggan. Bahkan kalau perlu, dia ingin menyumpahi warung makan itu supaya cepat bangkrut.
Prinsip hidup Jungwon adalah 'dilarang memberi hormat kepada orang yang tidak pantas dihormati'. Kerasnya kehidupan, membuat cowok itu harus pandai-pandai menata hidupnya sendiri. Dia tidak suka ditindas, walaupun kadang dia terpaksa menerimanya. Lagi pula, dia bisa apa memangnya? Tidak punya keluarga, orang tua, apalagi teman. Dia benar-benar sendirian di dunia yang fana ini.
Cowok dengan kaus lengan pendek dan celana sepanjang lutut itu memasukkan uang hasil kerja kerasnya ke saku, sambil terus berjalan meninggalkan warung makan yang sempat ia sumpahi agar segera bangkrut. Semasa bodoh! Jungwon tidak peduli, kok, kalau dia dikatakan kacang lupa kulitnya atau apa pun. Dia hanya berusaha realistis kepada dirinya sendiri. Kalau dia tidak suka, dia akan mengakuinya. Begitu juga sebaliknya. Tidak mau munafik, sih, intinya.