25. Adek?

1K 205 13
                                    

Keluarga Park tampaknya mulai dikelilingi kebahagiaan, tepatnya sejak seminggu lalu, di mana putra kesayangan mereka pada akhirnya dapat kembali ke tengah-tengah mereka dalam kondisi sadar, sehat dan tanpa kekurangan sesuatu apa pun.

Orang-orang yang mendengar kabar bahwa putra dari pasangan Park Junhui dan Jung Eunha itu telah siuman dari koma-nya selama kurang lebih tujuh belas hari itu tentunya ikut merasa senang. Ucapan selamat pun berdatangan dari para kolega beserta doa-doa yang selalu mengharapkan agar si empunya selalu dilimpahi kesehatan dan umur panjang oleh Tuhan.

Jay masih berada di rumah sakit, untuk memulihkan kondisinya. Bagaimanapun, Jay baru saja melewati fase panjang di mana tubuhnya hanya bisa terbaring tak sadarkan diri di atas brankar rumah sakit selama kurang lebih dua Minggu. Maka dari itu, ada banyak hal yang harus kembali dipelajari---seperti berbicara, duduk dan berdiri bahkan berjalan. Cowok itu seolah-olah kembali seperti bayi sekarang.

Namun, terlepas dari itu semua, satu hal yang disadari oleh Park Junhui---ayah dari Jay itu---semenjak sadar dari komanya, sang putra terlihat jauh lebih pendiam. Dia hanya akan merespons beberapa pertanyaan dan akan menjawabnya dengan singkat, sebisanya. Selebihnya, dia hanya akan diam saja dan membalas setiap cerita yang didengar dengan senyum tipis atau sekadar kerjapan mata.

Jujur saja, Junhui merasa sedikit khawatir. Dia takut jika putranya itu menyembunyikan sesuatu, seperti rasa sakit atau ketakutan berlebih. Apalagi ketika mengingat yang terjadi kepada putranya itu hingga berakhir di rumah sakit seperti sekarang. Maka dari itu, Junhui memutuskan untuk tidak meninggalkan sang putra sampai Jay benar-benar sembuh.

"Nak." Jun memanggil dengan lembut, seraya meraih jemari sang putra dan menggenggamnya. "Kenapa diam aja, hum? Apa ada yang mengganggu pikiranmu?"

Mendengar pertanyaan sang ayah, membuat Jay yang kini setengah duduk---dengan posisi kepala brankar yang dinaikkan---menoleh kepada ayahnya itu, lantas menggeleng singkat. "Nggak ada, Pa," jawabnya. Cowok itu menghela napas panjang seraya menggigit bibir bawahnya. "Jay cuma kepikiran sesuatu."

Dahi Junhui berkerut mendengar ucapan sang putra. "Kangen Mama, ya?" tanyanya. "Mau Papa telepon Mama sekarang?"

Jay menggeleng singkat. "Nggak usah, Pa. Mama pasti capek. Biarin Mama istirahat di rumah aja dulu."

"Terus kenapa, Nak?" Jun membelai lembut pucuk kepala putranya, sambil membenahi rambut Jay yang lepek dan sedikit berantakan. "Cerita ke Papa."

Cowok itu mengembuskan napasnya perlahan, kedua matanya dipejamkan. "Jay juga nggak tau kenapa, Pa," ujarnya. "Jay kayak ... ngelupain sesuatu, tapi Jay sendiri nggak tahu, apa yang Jay lupain?"

Junhui menyunggingkan senyum tipis, sementara jempolnya masih mengusap lembut jemari sang putra yang berada dalam genggaman. "Nggak usah terlalu dipikirin dulu, ya." Lelaki itu melirik nakas di samping brankar. Sekitar lima belas menit lalu, Ners baru saja meletakkannya di sana, tetapi Jay berkata jika dirinya belum ingin makan. "Mau makan sekarang? Biar Papa suapin."

Mulanya, Jay ingin menolak lagi. Apalagi saat melihat makanan yang dibawa oleh Ners tadi terlihat sangat-sangat tidak menarik. Memang bukan bubur cair yang seperti muntahan bayi---kata Kakek Park ketika beliau masih hidup dulu. Akan tetapi, melihat nasi yang terlihat sangat lembek, sop dengan kuah yang begitu bening dan pasti rasanya sangat hambar dan beberapa menu lain yang sama sekali tidak ingin Jay tahu, seketika membuat nafsu makannya menghilang begitu saja.

Hanya saja, ketika melihat wajah sang ayah yang tampaknya tidak ingin dibantah itu, membuat Jay pada akhirnya memilih mengangguk pelan. Namun, baru saja sesendok makanan itu masuk ke mulutnya, Jay seketika memejamkan matanya rapat. Ia hanya mengulum makanan itu di dalam mulut, saat beberapa potongan kejadian, memasuki ingatannya.

[1] a Ghost-ing Me! [JayWon] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang