Waktu berjalan begitu cepat menurut Jay. Ia pikir, baru saja kemarin rasanya bertemu dengan sang adik dan berhasil membawanya kembali ke rumah, tetapi hari ini saat melihat kalender yang berada di atas meja, ternyata sudah enam bulan sejak hari itu tiba.
Ada banyak sekali perubahan yang terjadi di rumah. Seperti mendapatkan kebahagiaan tambahan yang tak terkira jumlahnya.
Mulai dari Mama Eunha terlihat lebih semangat ketika menyambut pagi. Membangunkan anak-anak dan suaminya dengan bahagia, menyiapkan sarapan yang lezat dan mulai melakukan hobi yang dulu jarang sekali ia lakukan; membuat kue.
Selain itu, Papa Jun pun tidak mau kalah. Biasanya, Jay akan pergi dan pulang sekolah dengan diantar oleh sopir dan kalau mendapat izin, si sulung akan pergi menggunakan kendaraannya sendiri. Namun, selama kurun waktu empat bulan terakhir, sang kepala keluarga terlihat lebih rajin dan bersemangat. Bahkan lelaki 48 tahun itu sendiri yang seringkali mengajak Jay untuk berangkat bersama saat ia akan pergi ke kantor.
Jay tentunya bahagia dengan semua yang terjadi sekarang. Bukan berarti ketika Jungwon belum ditemukan, keluarga ini jauh dari kebahagiaan. Hanya saja, Jay merasa jika kebahagiaan serta keberuntungan di keluarganya itu bertambah setelah Jungwon kembali, melengkapi bagian kosong di keluarga ini.
Selama dua bulan terakhir, Papa Jun memilih memberikan pendidikan homeschooling untuk Jungwon karena beberapa alasan. Salah satunya adalah karena Mama Eunha yang agaknya masih tidak rela melepas pengawasannya dari si bungsu walaupun hanya untuk pergi ke sekolah. Selain itu juga, ada beberapa faktor pendukung yang membuat homeschooling menjadi pilihan terbaik untuk Jungwon saat ini dan hanya Papa Jun saja yang mengetahui alasannya.
Beruntung, Jungwon tidak memprotes. Adik bungsu Jay itu hanya iya-iya saja dan menerima semua keputusan yang diberikan oleh ayahnya. Padahal, baik Papa Jun dan Mama Eunha sama-sama sudah memberikan kesempatan untuk si bungsu, barangkali ada yang ia inginkan untuk segera diutarakan. Namun, Jungwon hanya menjawab kalau dia menerima apa pun keputusan kedua orang tuanya itu.
Karena kesibukan Papa Jun yang memang tak bisa dipandang sebelah mata begitu saja, Jay sampai baru menemukan satu kesempatan untuk mengajak sang ayah berkunjung ke sekolah di mana Jungwon menimba ilmu dulu. Ah, tidak. Tidak hanya menimba ilmu, tetapi juga tempat di mana Jungwon mendapatkan segala ketidakadilan yang tak seharusnya ia dapatkan.
Jay juga tak lupa mengajak Jungwon. Bukannya berniat untuk membuka luka lama sang adik, tetapi Jay ingin menunjukkan kepada orang-orang yang dulu berlaku semena-mena kepada adik kesayangannya itu bahwa mereka memilih lawan yang salah.
Mulanya, Jungwon terlihat enggan. Ia jelas takut, terlebih lagi jantungnya terasa berdebar berkali-kali lebih cepat. "J-Jungwon tunggu di sini aja, deh," ujarnya dengan suara tergagap karena takut.
Dari posisinya, Jay dapat melihat tangan sang adik yang bergetar. Ia mengerti, sangat mengerti jika adiknya itu ketakutan. Akan tetapi, jika tidak segera diambil tindakan, dikhawatirkan jika ke depannya akan ada Jungwon-Jungwon lain yang akan diperlakukan tidak baik oleh sekolah ini.
Papa Jun sendiri tidak mau lepas tangan begitu saja. Diraihnya jemari sang putra bungsu, lantas menggenggamnya dengan lembut seraya menyunggingkan senyum hangat. "Adek jangan takut, Nak," ujarnya. "Ada Papa sama Abangmu di sini, hum? Kita buat mereka paham, kalau yang selama ini mereka lakukan itu salah."
Jungwon meneguk salivanya susah payah, kemudian berujar lirih, "J-Jungwon nggak apa-apa, kok, Pa." Remaja itu enggan menatap wajah sang ayah. Tangannya yang berada dalam genggaman Papa Jun terasa dingin. "L-lagian, semua udah berlalu juga. Jungwon, kan, udah nggak sekolah di sini lagi, Pa."
Apa yang Jungwon katakan, praktis membuat Papa Jun dan Jay terdiam. Entah apa yang ada di dalam pikiran Jungwon karena yang jelas, sepasang ayah dan anak itu tidak dapat mengerti dengan mudah.
"Ya sudah, kalau misalnya Adek nggak mau ikut turun," ujar Papa Jun kemudian. "Biar nanti ditemani sama Om Seokmin, ya?"
Lee Seokmin, salah satu orang kepercayaan Park Junhui selain Hansol, terlihat menoleh sambil menyunggingkan senyum hangatnya. Omong-omong, Seokmin yang bertugas mengantarkan keluarga Park minus Mama Eunha itu hari ini menggunakan mobil. Katakanlah ia bertugas sebagai sopir sekarang.
"Tenang saja, Tuan. Den Jungwon akan aman dengan saya," ujar Seokmin sambil memberikan cengirannya.
Seokmin dan Hansol tentunya berbeda. Walaupun keduanya sama-sama merupakan orang kepercayaan Junhui, tetapi untuk urusan ekspresi, Seokmin lebih hangat dan ramah. Lain halnya dengan Hansol yang selalu terlihat tegas dan dingin.
Namun, sejatinya ada perasaan tak nyaman ketika ia harus menetap di dalam mobil, sementara ayah dan kakaknya harus menghadapi orang-orang yang pernah menjadi bagian dari kehidupannya itu.
Jungwon takut. Jujur saja. Ia takut jika aibnya selama ini terbongkar dan dirinya malah membuat Keluarga Park terutama Papa Jun menanggung malu.
Walaupun mungkin ada beberapa hal yang bukan kesalahannya, tetapi jika dibeberkan oleh 'orang-orang' yang ada di sekolah itu, pasti dirinya akan kalah telak nantinya. Maka, cowok dengan lesung pipi itu akhirnya mengubah keputusan dengan cepat sebelum Papa Jun dan Jay benar-benar pergi meninggalkan mobil.
"J-Jungwon ikut aja, Pa," putusnya kemudian.
Papa Jun dan Jay mulanya bingung, tetapi keduanya tampak mengulurkan tangan bersamaan dan merangkul Jungwon dengan hangat sebelum cowok itu berkata, "Kalau misalnya J-Jungwon pergi ke dalam sendirian, boleh?"
Ada keraguan di mata Papa Jun kala itu, tetapi saat Jay menahan lengan sang ayah dan menatapnya dalam---seolah-olah ingin menyampaikan sesuatu lewat tatapan itu---Papa Jun akhirnya mengangguk lembut. "Boleh," ujarnya. "Tapi hati-hati ya, Nak. Papa sama Abang bakal susul Adek setelah lima menit, oke?"
Dengan itu, ketiganya berpisah. Papa Jun dan Jay menatap langkah Jungwon yang terlihat ragu, kemudian ayah dua anak itu berbisik di telinga si sulung. "Kenapa Abang iyakan, Nak?" tanyanya. "Gimana kalau Adekmu kenapa-kenapa di dalam, hum?"
Jay menggeleng kecil. "Abang cuma pengin dapat bukti untuk lebih memperkuat alasan kita datang ke sini hari ini, Pa," jawab cowok itu kemudian.
"Dengan mengorbankan adikmu?" tanya Papa Jun dengan raut tak percaya. "Bang, Papa nggak pernah mengajari Abang untuk---"
"Papa tenang dulu." Jay memotong ucapan sang ayah. "Enggak ada hal buruk yang akan terjadi dalam lima menit, Pa."
Papa Jun berdecak. "Abang terlalu yakin," ujarnya. "Ayo kita susul adekmu sekarang. Papa khawatir."
Jay pun akhirnya memilih mengangguk saja, tetapi cowok itu tak lupa menyalakan kamera di ponsel yang ia letakkan di saku kemejanya dalam posisi merekam. Dia tidak tahu apakah rencananya kali ini berhasil atau tidak, tetapi Jay sangat berharap jika 'orang-orang' yang dulu pernah membuat adiknya menderita, mendapatkan ganjarannya hari ini juga.
Gue nggak bakal biarin mereka hidup tenang. Terlepas dari atau tanpa persetujuan Papa dan Jungwon, gue nggak peduli. Jay membatin dengan wajah yang berubah tegas. Rahangnya mengeras, seiring dengan langkah, matanya melihat langsung tatapan keji orang-orang kepada sang adik yang melewati mereka.
JAYWON
Rabu, 12 Januari 2022Aduh, ngeri Bund. Ada aroma-aroma balas dendam gitu yang menguar dari kata-katanya Bang Jay:')
Nurun dari siapa, ya, Bang Jay ini?
See u next!
140122
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] a Ghost-ing Me! [JayWon] ✓
Fiksi Penggemar[JayWon FF AU] 'BUKAN BXB YA ANJIR, CAPEK SAYA NGASIH TAU ಥ‿ಥ /FRUSTRASI LEVEL HARD/' "Setan doang kok banyak bacot, sih, lo?!"---Yang Jungwon. "Gue bukan setan, woy, plislah!"---Jay Park. ___________________________ Title: A Ghost-ing Me! (A Ghos...