13. Nenek Nam

921 205 17
                                    

Dulu sekali, waktu Nenek Nam masih hidup, Jungwon kecil pernah bertanya. Di mana orang tuanya? Mengapa dia hanya tinggal dengan nenek? Dan satu pertanyaan yang selalu Jungwon kecil tanyakan saat itu adalah kenapa dia dilahirkan?

Mulanya, Nenek Nam---perempuan tua yang sudah merawat Jungwon sejak masih bayi merah---selalu saja mengelak dari segala pertanyaan Jungwon kecil. Dia selalu bilang, "Hah, sudah! Jangan banyak bertanya. Cepat pergi tidur, atau besok kamu nggak akan Nenek kasih makan!"

Nenek Nam itu tidak pernah bertutur lemah lembut. Beliau sering memarahi Jungwon, mencubit atau memukulnya ketika dia membuat kesalahan dan tidak akan memberikan makanan untuk Jungwon saat hatinya sedang kesal---atau ketika Jungwon tidak mau menuruti kata-katanya.

Namun, meski begitu, Jungwon tidak pernah membenci Nenek Nam. Dia hanya mengenal wanita tua renta itu sepanjang hidupnya. Jungwon juga berpikir, jika tidak ada Nenek Nam, memangnya dia mau hidup di mana? Bersama siapa? Makanya, sekejam apa pun tutur kata dan sikap Nenek Nam kepadanya, Jungwon tetap tidak membenci wanita tua itu.

Akan tetapi, namanya juga bocah berusia kurang dari tujuh tahun. Dia akan terus bertanya apa saja yang menurutnya perlu ditanyakan. Seperti contohnya, "Nek, kenapa marganya Jungwon harus 'Yang'? Padahal, kan, marganya nggak sama dengan Nenek."

Kali ini, Nenek Nam yang sedang memasak nasi menggunakan tungku kayu itu menghela napas panjang, kemudian menjawab dengan nada kesal. "Ya karena kamu bukan cucuku!" jawabnya simple.

Alhasil, Jungwon hanya bisa mendesah sebal karena pertanyaannya tak terjawab. "Tapi kenapa harus 'Yang', Nek? Kenapa nggak 'Kim, Shin, Choi' atau 'Park' gitu, Nek?"

Nenek Nam sempat terdiam saat Jungwon menyebutkan salah satu marga. Dia kemudian menoleh dan memberikan tatapan tajam kepada Jungwon. "Ya daripada tidak Nenek beri marga, memangnya kamu mau, hah?"

"Y-ya tidak, sih," jawab Jungwon sambil cemberut.

"Makanya diam saja," ujar Nenek Nam dengan nada ketus. "Lagi pula, Nenek memberimu marga itu hanya karena iseng, kok."

Satu hal yang paling Jungwon ingat adalah Nenek Nam itu aneh. Orang-orang terkadang memandangnya dengan tatapan biasa saja seperti memandang manusia pada umumnya. Akan tetapi, ada kalanya juga orang-orang memandangnya bak sampah tak berguna. Ah, beda sekali dengan dirinya yang sejak dulu sekali---sepanjang yang dapat Jungwon ingat---orang-orang selalu menatapnya bagaikan sampah, atau bahkan tak pernah dianggap kehadirannya sama sekali.

Miris, bukan? Namun, percayalah jika Jungwon tidak terlalu memikirkan itu. Dia hanya kesal karena tidak ada anak-anak sebaya yang mau bermain dengannya. Maka dari itu, Nenek Nam sering memaksanya untuk ikut mencari uang. Apa saja deh, yang bisa dikerjakan. Intinya, Jungwon sudah terbiasa bekerja sejak dia masih piyik.

Jungwon pernah menjadi pengamen, memakai kostum badut khusus anak-anak dan menghibur anak-anak lainnya. Dia juga pernah menjadi kuli panggul di pasar---walaupun hanya bisa mengangkat barang-barang ringan untuk bocah seusianya---di umur delapan tahun. Atau-atau yang paling Jungwon ingat adalah saat dia harus ikut membantu Nenek Nam untuk membersihkan gedung kosong yang katanya akan segera digunakan sebagai gedung perkantoran yang baru.

Pokoknya, hidup Jungwon sudah cukup nano-nano selama bersama Nenek Nam.

Ketika usianya sembilan tahun, Jungwon lagi-lagi bertanya kepada Nenek Nam. "Nek, orang tua Jungwon ke mana? Kok Jungwon tinggal sama Nenek?"

Hal itu lagi-lagi harus ia tanyakan. Jungwon tentunya tidak mau diam saja dengan ketidaktahuan selama bertahun-tahun tentang orang tuanya. Maka dari itu, Nenek Nam yang baru saja selesai menghangatkan nasi sisa pemberian pemilik warung makan di mana dia bekerja hari ini, memperhatikan Jungwon yang duduk dengan buku-buku sekolah dasar bekas di sudut gubuk.

[1] a Ghost-ing Me! [JayWon] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang