Part 14

1.7K 76 41
                                    

"Ku harap kebersamaan kita saat ini bukanlah suatu keegoisan yang sengaja ku manfaatkan disaat pemilik mu sedang tak ada." - Ariel Ayunda Agrista

***

Laras terus menatap gelisah Ariel yang sedari tadi duduk dengan tenang sambil memejamkan mata. Jika dilihat dari luar, Ariel memang terlihat tenang seolah tidak terjadi apa pun, namun siapa yang tau bagaimana keadaan hati Ariel saat ini. Seharusnya yang berada di kamar Ariel bukan hanya Laras saja, melainkan juga Bulan. Cih, entah dimana perempuan itu sekarang, bukannya menyelesaikan masalah bersama, dia malah menghilang entah kemana tanpa mau ikut campur menyelesaikan kekacauan yang sudah dia buat. Sungguh licik. Bahkan kata 'sahabat' sudah tidak pantas lagi disebut untuk Bulan.

"Hmm."

Laras menatap Ariel ragu, sebenarnya ini bukan salah Laras. Semua ini adalah salah Bulan, karena yang sudah memulai pertengkaran adalah Bulan. Ia hanya mencoba melawan saat dirinya sedang dipojokkan. Tidak salah kan jika ia melakukan pembelaan?

Laras menghembuskan nafas pelan, lalu mencoba memberanikan untuk menatap wajah Ariel.

"Riel, aku..."

"Huff, Brian sudah menceritakan semuanya. Mungkin akan lebih melegakan lagi kalau kau sendiri yang menjelaskan kronologinya," Ariel menatap Laras yang kini menunduk.

"Bulan kemarin menjelek-jelekkan kita berdua saat sedang berkumpul bersama mahasiswa lain. Dia bercerita hal yang tidak sepantasnya dia ceritakan. Sebenarnya itu bukan masalah, yang menjadi masalah itu kepada siapa Bulan bercerita. Dan aku benci mengatakan ini..." Laras menatap mata Ariel lekat, "semenjak keluar dari rumah sakit sikapnya sudah berubah. Karena itu aku selalu menjaga jarak dan tak pernah saling menyapa dengan nya lagi. Dia, dia seolah bukan Bulan yang selama ini aku kenal. Dia berbeda, aku juga merasa asing saat berada didekatnya. Kemarin dia sudah sangat kelewatan, Ariel! Karena itu aku langsung menamparnya."

Laras benar-benar tidak sanggup lagi untuk melanjutkan, batinnya seolah menekan dia untuk tidak mengatakan semua itu. Namun ego nya terus mendesak agar mengatakan semua yang sudah mengganjal di hatinya selama ini.

Disaat sedang mencoba menenangkan diri, dapat ia rasakan usapan lembut di bahu lalu berubah menjadi dekapan erat. Hal itu pun membuat tangis yang sedari tadi ia bendung perlahan mulai luruh. Dapat Laras akui bahwa ia tidak bisa berbohong kepada Ariel. Semua yang coba ia sembunyikan pun pada akhirnya akan berakhir Ariel yang mengetahui semuanya.

"Hiks... Arielll..."

"Sutt, tumpahkan semua beban yang selama ini menimpa dirimu. Aku selalu siap kapan pun untuk menjadi sandaran."

Jujur saja jika saat ini Ariel ingin sekali marah. Marah kepada sahabatnya, marah kepada dirinya sendiri. Namun saat melihat keadaan Laras yang lebih membutuhkan dirinya, membuat ia urung melakukan hal itu dan memilih membendung semua amarah yang ia rasakan. Mendengar penjelasan dari Brian kemarin saja sudah berhasil membuat rasa kecewa yang amat dalam di sudut hatinya.  Ditambah lagi dengan semua penjelasan Laras, lengkap sudah rasanya.

Ariel terus mengusap punggung Laras, mencoba memberikan ketenangan sesaat. Mengingat kejadian di kampus kemarin, seharusnya Bulan juga ada di sini dan menjelaskan apa yang terjadi. Jangankan memberi penjelasan, pesan yang sempat ku kirim saja tidak dia hiraukan.

“Aku jadi ragu kalau Bulan masih hidup. Buktinya saja, ditelepon tidak diangkat, di SMS tidak dilihat. Apa perlu aku datang kerumahnya dan bertanya dimana dia sekarang? Ck, magerr...” batin Ariel menggerutu kesal.

"Sebenarnya ada apa dengan Bulan? Kenapa dia sama sekali tidak menjawab panggilan ku? Masih hidup kan dia?" tanya Ariel kepada Laras.

Laras menatap Ariel, "ak-u juga tidak tau hiks..."

Ex Boyfriend Is My StepfatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang