Part 24

1.3K 57 12
                                    


Perasaan gundah dan gelisah memenuhinya pikiran dan hati Ariel, ia terus berjalan mondar-mandir ditempat yang masih sama. Bahkan ocehan pria di sampingnya pun tidak ia hiraukan. Fokusnya saat ini tertuju pada gadis di dalam sana.

"Semoga saja kau baik saja, Bulan," gumam Ariel dengan tatapan tertuju pada pintu ruang rawat Bulan.

Ketika tengah sarapan tadi pagi, tiba-tiba Poy meneleponnya dan mengabari bahwa kondisi Bulan tiba-tiba kritis. Tanpa berpamitan dirinya langsung bergegas menuju rumah sakit. Walau sikap Bulan akhir-akhir ini terlihat berbeda, namun dia tetap sahabatnya. Dan kini dirinya hanya bisa mondar-mandir sembari berdoa agar Bulan baik-baik saja.

"Tenangkan dirimu, Riel. Bulan tidak akan sadar kalau kau terus mondar-mandir tanpa henti seperti ini."

Sudah tidak terhitung berapa kali Poy mengatakan itu, bahkan Ariel sempat berpikir apakah dia tidak bosan mengatakan itu terus menerus.

"Benar apa yang dikatakan, Poy. Ariel, duduklah di sini. Tante juga sama khawatirnya dengan dirimu, tapi kita juga tidak boleh terlalu berlebihan."

Pergerakan Ariel terhenti, ia menatap sayu Anggie-mama Bulan. Kemudian dengan patuh dirinya duduk di sebelah Anggie.

"Aku takut, Tante."

Anggie yang mendengar hanya bisa tersenyum maklum, dirinya juga sama. Sama-sama mengkhawatirkan putrinya yang kini tengah kritis.

"Kenapa Bulan bisa tiba-tiba kritis, bukankah selama ini baik-baik saja?"

"Tante juga tidak tahu, Riel. Bahkan Tante tidak pernah meninggalkan Bulan lebih dari lima menit. Tapi kali ini Tante merasa bersalah karena tidak bisa menjaga Bulan, hiks."

"Tante ...."

Bahkan Ariel tidak tahu harus mengatakan apa lagi disaat melihat kondisi Anggie yang seperti ini. Entah mengapa, disaat seperti ini ayah Bulan justru tidak ada. Mau bertanya pun rasanya tidak enak.

"Poy."

"Ya, Riel?"

"Kau sudah menghubungi Mama kalau aku disini kan?"

"Iya, Bunda Vio juga menyuruhku untuk mengantar mu pulang."

Perasaan lega menyelimuti hatinya, setidaknya mama sudah tahu dan tidak perlu khawatir lagi.

Beberapa menit mereka semua terdiam, berharap cemas sembari terus melantunkan doa agar seseorang yang berada di dalam sana selamat. Hingga beberapa saat kemudian pintu ruangan itu terbuka, menampilkan wajah sang dokter beserta satu perawat dibelakangnya melangkah keluar.

"Bagaimana keadaan anak saya, Dok?" tanya Anggie dengan cemas.

"Syukurlah keadaan pasien baik-baik saja. Jika kita terlambat sedetik saja, maka semuanya bisa terlambat. Beruntunglah anda segera menyadari kejadian ini sehingga nyawa pasien bisa selamat. Namun, keadaan pasien saat ini masih dalam kondisi koma. Anda berdoalah agar Putri anda segera bangkit dari koma," jelas dokter yang disambut helaan nafas lega.

"Terima kasih, Dok."

"Ini sudah menjadi pekerjaan saya, sehingga anda tidak perlu berterima kasih. Berterima kasih lah kepada Tuhan yang membuat keadaan bisa kita kendalikan."

Selepas mengatakan itupun dokter langsung pergi. Kini mereka semua bisa bernafas lega. Setidaknya tidak terjadi sesuatu yang parah.

"Ariel, kau pulanglah dengan Poy. Karena Bulan sudah baik-baik saja, Tante bisa menjaganya."

"Tidak, Tante. Aku akan berada di sini dulu."

"Ariel, ayolah."

"Emm, Riel. Mungkin Tante Anggie ada benarnya," ujar Poy dengan ragu.

Ex Boyfriend Is My StepfatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang