Part 12

2K 92 15
                                    

“Berharap adalah hal yang pertama kali ingin ku singkirkan dalam hidupku.” —Ariel Ayunda Agrista

                                         ***

Hujan turun mengguyur bumi, diiringi gemuruh pertir yang saling bersahut-sahutan. Angin dingin juga turut menyempurnakan keadaan. Rasa dingin yang menusuk tulang dengan terpaksa harus dirasakan.

Disinilah Ariel berada, terduduk di bawah guyuran hujan yang turun tiada henti. Dengan daun pepohonan yang menjadi payung, walau tak sepenuhnya bisa melindungi dari air hujan. Setidaknya, tubuh ringkih itu tidak terguyur secara langsung oleh air hujan.

Sendirian, kedinginan. Dua hal itu yang menjadi teman setia yang menemani Ariel saat ini. Sendirian berada dalam kegelapan malam yang menguasai langit dengan suara petir yang saling bersaut-sautan menciptakan suara gemuruh mengerikan.

Tadi, saat keluar rumah Ariel bingung hendak pergi kemana. Jika ia pergi ke rumah teman-temannya maka akan mudah untuk ditemukan. Sehingga tanpa sengaja ia kepikiran dengan rumah pohon yang dulu pernah ia datangi. Tetapi saat masih di jalan tiba-tiba hujan turun sangat lebat. Membuat Ariel terpaksa harus mencari tempat untuk berteduh. Namun, mengingat posisi  Ariel yang saat ini sedang di taman dan otomatis  hanya ada pepohonan yang satu-satunya tempat berteduh sehingga ia memutuskan untuk berteduh disalah satu pohon yang menurutnya rindang.

Saat ini Ariel mengutuk niat yang tadi sempat terlintas dalam benaknya. Seharusnya ia memilih untuk pergi ke kafe atau ketempat yang lain yang pasti bukan taman. Dan sekarang ia harus menyesali keputusan itu.

"Seharusnya aku tidak kepikiran untuk pergi ke sana,"gerutu Ariel.

"Kenapa pula jaraknya sangat jauh? Siapa yang menempatkan tempat ini sampai sejauh ini coba? Ck, dasar sialan," bahkan taman yang tak tahu apa-apa juga ia salahkan.

"Seharusnya aku bisa mengendalikan diri. Aku sudah move on. Sekarang di mataku dia hanyalah sosok pengganti Papa. Tidak lebih dan tidak kurang." Ariel menutup wajah dengan kedua tangan sehingga terlihat sekali seperti orang yang tengah frustasi.

"Perasaan ini sudah hilang, dia Papa ku. Perasaan ini sudah hilang, dia Papa ku."

Arial terus bergumam begitu seolah itu adalah mantra agar ia bisa menerima kenyataan. Walau nyatanya ia tak akan pernah bisa.

Ariel mengusap tangannya yang mulai kedinginan. "Errr, dingin sekali. Kenapa taman ini tidak menyediakan tempat  berteduh? Lihat saja nanti, jika aku sudah punya banyak uang, akan ku bangun tempat-tempat yang sekiranya bisa digunakan untuk sekedar mengobrol atau perlu kafe sekalian," Ariel mencebik kesal.

Sedari tadi gerutuan  terus terlontar dari mulut Ariel. Dia tidak henti-hentinya mengomentari apapun yang ia kira sangat salah dimatanya. Bahkan jika ada manusia yang berada di sini dan tengah bernafas pun mungkin akan ikut disalahkan Ariel.

Hingga lama-kelamaan Ariel merasa lelah sendiri. Ia pun menyandarkan punggungnya kepada batang pohon. Sambil memeluk lutut dengan erat, perlahan-laham mata Ariel mulai menutup.

Cuaca dingin seperti ini memang sangat cocok sekali untuk tidur. Sehingga tanpa bisa menahan rasa kantuk yang tiba-tiba menyerang, pada akhirnya Ariel pun tergoda oleh keindahan mimpi yang mulai terbang kesana-kemari didalam alam bawah sadarnya.

***

Disisi lain, raut cemas tampak menghiasi wajah cantik Viona. Bahkan dia mengabaikan Tristan yang sedari tadi mencoba menenangkan. Dia tidak peduli yang dia pedulikan hanya satu, putri kecilnya Agris kembali. Sudah berulang kali dia mencoba menghubungi nomor Ariel, tetapi tetap saja selalu suara operator yang menyahut.

Ex Boyfriend Is My StepfatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang