Part 29

766 46 13
                                    

Happy Reading

***

"Aku butuh bantuan mu, Hugo."

Hugo menggeleng pelan dengan bibir membentuk seringai tipis. Tangannya bergerak untuk menggambil kue yang sudah dia pesan. Pikirannya benar-benar bahagia. Setelah sekian lama pria di hadapannya ini selalu berusaha melakukan semua seorang diri, kini lihatlah dia. Dia sedang duduk berhadapan dengannya. Wajah yang selalu menampilkan raut datar itu kini sedikit melunak. Tatapannya masih tajam seperti biasa, hanya saja ada satu hal yang membuatnya penasaran.

Alasan dibalik tindakannya. Namun, dari semua itu yang kini dia rasakan adalah kemenangan.

"Kau tidak sedang bergurau? Maksud ku, ini bukan seperti dirimu. Kau tiba-tiba menghubungiku dan mengajak bertemu. Lalu kau meminta bantuan. Apakah pekerjaan kedua teman kesayangan mu itu mulai menurun?" ledek Hugo sembari mengunyah kue.

Jika boleh jujur, perkataan Hugo jelas melukai harga dirinya. Jika bukan karena terdesak, dia mana mau melakukan hal seperti ini. Ini mungkin hal yang harus dia rasakan untuk beberapa saat.

Tristan tersenyum kecut. "Kerja mereka bagus. Sangking bagusnya aku sampai tidak tahu bahwa salah satu diantara mereka sedang membuat tombak untuk menghunus ku."

Hugo terkejut. Pergerakannya untuk mengambil cangkir kopi seketika terhenti. Dia menatap tajam wajah datar pria yang duduk di depannya.

"Jika ingin bercanda, silahkan mencari tempat lain. Aku tidak menerima lelucon bodoh mu," celetuk Hugo yang merasa ragu.

Tristan mendongak, menatap datar wajah Hugo. Tidak heran jika pria itu tidak percaya dengan apa yang barusan dia ucapkan, semua hal yang pernah dirinya lakukan selama ini pun tidak berjauhan dari hal-hal negatif. Hanya saja kali ini bukan waktunya membuat lelucon. Ini waktunya serius.

"Apa wajah ku terlihat sedang bergurau?" jawab Tristan menunjuk wajahnya.

Terlihat perubahan pada otot-otot wajah Hugo. Dia sedikit melunakkan tatapannya.
Dalam hati Tristan bersorak bahagia.

"Itulah mengapa aku membutuhkan bantuan mu! Jangan menyalahkan ku untuk hal ini. Aku juga baru menyadarinya," tutur Tristan.

"Arghh!"

Hugo mengusap wajahnya kasar. Dia menjadi ikut emosional jika sudah menyangkut perihal perusahaan. Walau ini bukan perusahaan miliknya, tetapi jika sudah menyangkut keluarga maka beda lagi urusannya.

Tristan tersenyum kecut. "Akhir-akhir ini ada begitu banyak masalah yang berdatangan. Itulah mengapa aku kecolongan."

Hugo mendongak. Dia menatap wajah Tristan yang terlihat berbeda dari biasanya. Kali ini terlihat seakan-akan ada awan mendung yang menyelimutinya. Sebenarnya sejak tadi dia terus berpikir, ada masalah apa dengan pria ini. Tidak biasanya dia terlihat seperti ini. Benar-benar bukan seperti dirinya sendiri. Seakan-akan dia melihat orang lain saat ini.

Hugo menepuk pundak Tristan, mencoba memberi semangat. "Aku sepupumu, kau bisa cerita jika kau mau."

Tristan tersenyum tipis. "Aku bisa menyelesaikan yang satu itu. Bantuanmu akan berguna untuk yang satu ini."

Pandangan mereka saling terhubung. Segaris seringai terlihat menghias dibibir keduanya.

***

Hampir seharian ini konsentrasi Ariel terganggu. Tidak jarang pula teguran dari dosen terus tertuju padanya. Bahkan pertanyaan-pertanyaan dari teman-temannya pun tak luput memenuhi indera pendengaran. Semenjak pertemuan kemarin dengan pria itu, semua seolah berubah begitu saja. Rasa nyaman dan aman yang selalu ia rasakan ketika bersama teman-temannya pun tak lagi ada. Semua berubah menjadi rasa waspada. Kini ia harus bisa menjaga gerak-gerik dan ucapannya. Sedikit saja kesalahan, maka kedepannya akan mengerikan.

Ex Boyfriend Is My StepfatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang