Part 37

596 32 19
                                    

Happy Reading

Tiba-tiba kepalaku terasa sakit. Lagi-lagi suara-suara itu kembali terdengar, bahkan sangat jelas. Suara orang-orang yang terus berusaha menanyakan keadaanku. Aku kebingungan.

Ini bukan lucid dream. Lalu apa ini?

"A-aku." Suaraku tercekat, rasanya seperti sudah lima hari tidak ada cairan yang membasahi tenggorokanku. Tenggorokan ku benar-benar terasa kering.

Tidak lama kemudian dapat ku rasakan sesuatu seperti gelas menempel di bibirku. Otak ku langsung memberi sinyal dan aku pun dengan cepat menyesap cairan yang ku yakini adalah air itu sedikit demi sedikit.

Dirasa tenggorokan ku sudah lebih baik, aku pun kembali bersuara. Setidaknya ingin memastikan bahwa ini bukanlah mimpi.

"Ka-kalian ada di sini?" Pertanyaan pertama ku lontarkan, namun tidak juga mendapat respon.

Aku semakin dibuat bingung. Beberapa menit yang lalu terdengar begitu ramai, mengapa sekarang terasa sunyi. Seolah aku sedang sendirian.

"Benar. Ini pasti masih di mimpi. Memangnya apa yang ku harapkan," gumam ku lesu. Aku pun tersenyum getir, meratapi mimpi yang masih belum berakhir ini.

Untuk sesaat aku pun terdiam, masih berperang dengan pikiran ku sendiri. Suasana di sekeliling ku pun juga terasa sunyi.

"A-ariel, hiks."

Deg!

Aku tersentak, mendengar suara seseorang yang akrab di telingaku.

"Nenek Ara? Iya kan ini Nenek Aranta? Ku mohon, jawab aku." Aku tersenyum haru, karena di sini ada orang lain selain diriku.

"Ta-tapi kenapa nenek ada di sini? Bagaimana bisa di dalam mimpiku ada orang lain?"

Pertanyaan kedua yang ku lontarkan berbeda seperti tadi. Jika tadi tidak mendapat respon apapun, kini justru terdengar suara isak tangis dan gumaman dari beberapa orang.

Aku benar-benar semakin dibuat bingung. Tapi, dari suara-suara yang tertangkap oleh indera pendengaran ku jelas-jelas aku sangat paham.

"I-ini bukan mimpi ya? Tapi kenapa semuanya gelap?"

Alih-alih mendapat sebuah jawaban, pelukan tiba-tiba yang diberikan seseorang berhasil mengejutkan ku.

Dari aroma parfum yang dipakai, sepertinya aku tahu siapa ini.

"Poy? Kau kah itu?" tanya ku senang.

Walau tidak mendapatkan jawaban, sebuah anggukan kepala darinya saja sudah cukup bagiku. Dengan perasaan senang aku pun membalas pelukannya tak kalah erat.

Untuk sesaat kami saling berpelukan, bahkan aku tidak tahu sudah berapa lama kami dalam posisi ini. Sampai-sampai pundak ku terasa pegal karena harus menahan beban kepalanya.

"Poy, lepaskan. Kasihan Ariel. Dia baru saja bangun dan kau sudah membebani dirinya."

Suara Liam terdengar, lalu disusul suara yang lain. Tidak lama pelukan Poy pun mulai mengendur.

"Kalian ada di sini? Sungguh? Berarti aku sedang tidak bermimpi. Tapi, kenapa semuanya gelap? Kalian tidak sedang mengerjai ku kan?"

Rasanya aku kesal sendiri. Sekali lagi bukan jawaban yang ku dapatkan, melainkan isak tangis. Memangnya mereka pikir aku tidak punya stok kesabaran apa?

Hey, aku ini bertanya. Tapi kalian malah menangis seolah aku sedang mengalami kebutaan. Yang benar saja. Batinku menjerit frustasi.

Eh.

Ex Boyfriend Is My StepfatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang