Part 18

1.4K 70 3
                                    

Happy Reading

Rintik gerimis malam menerpa tubuh kecil yang kini tengah menatap lurus bintang-bintang di langit dengan kegelapan yang menjadi penguasa tahta.

Dingin malam disertai dengan gerimis menjadi pendominasi serasi malam ini. Selimut tebal mungkin menjadi pilihan utama bagi setiap orang. Namun tidak dengan gadis itu, ia sama sekali tidak beranjak dari balkon kamarnya. Seolah rasa dingin yang menusuk kulit ini tidak berpengaruh pada tubuhnya. Mati rasa, mungkin satu hal itu yang kini menggambarkan keadaan gadis itu. Luka disetiap bagian tubuhnya pun tak membuat ia meringis kesakitan. Seolah itu sudah biasa baginya.

Suara pintu terbuka membuyarkan lamunannya, namun tak membuat ia menoleh.

"Waktunya makan, Nona. Dan masuklah, malam ini udaranya dingin sekali."

Gadis itu tidak menghiraukan ucapan pelayanan yang sudah satu tahun ini menemani dirinya itu. Ia tetap pada posisinya.

"Nona?" ulang pelayan itu sembari melangkah mendekat.

"Keluarlah." Pelayanan itu hanya Bisa menghembuskan nafasnya kasar, lagi-lagi jawaban itu yang selalu nona nya berikan. Dia pun melangkah menjauh lalu menutup pintu dan tidak lupa menguncinya dengan perasaan tak menentu.

Setelah kepergian sang pelayan, gadis itu menoleh. Menatap makanan yang sudah terhidang di meja, ia tidak menyentuhnya. Karena rasanya percuma ia setiap hari mengisi perutnya namun dirinya tidak bisa bebas seperti orang-orang di luar sana.

Tanpa terasa air matanya menetes, hingga semakin lama berubah menjadi isakan yang memilukan. Kemudian gadis itu berteriak kencang sembari melempar gelas beserta makanan yang dikirimkan pelayan. Kini kamar ini sudah tidak berbentuk lagi. Pecahan gelas dan piring beserta makanan berserakan dilantai dan tembok sehingga menampilkan pemandangan yang tidak enak dilihat bagi siapapun yang masuk ke sana.

Dari luar, pelayanan yang tadi mengantarkan makanan untuk gadis itu hanya bisa menatap nanar pintu kamar gadis itu kala pendengarannya menangkap suara pecahan kaca yang disusul isakan dari dalam sana.

"Bagaimana?" tanya salah satu penjaga yang tidak sengaja lewat sana.

"Seperti biasa." Pelayan itu menghela nafas.

"Aku tidak akan melaporkannya kepada Tuan. Tenanglah, aku juga merasa kasihan kepada Nona. Tapi kita bisa apa? Kita hanya orang biasa yang sekali melawan bisa kehilangan nyawa."

Pelayan itu menatap lega wajah pria dihadapannya, lalu menepuk pundak pria itu untuk berterima kasih. Setelahnya melangkah menjauh meninggalkan pria yang bertugas sebagai penjaga ruangan nona nya itu sendiri di sana.

***

Aku termenung dalam lamunan ku, bahkan indahnya gemerlap lampu kota tak membuat minat ku tuk menatap kesana. Udara malam yang terasa dingin bercampurkan dengan rintik-rintik gerimis menerpa tubuh ku pun tak ku hiraukan. Kini fokus ku hanya tertuju pada beberapa hal yang sudah terjadi dalam kurun waktu satu bulan ini. Benak ku terus berkata-kata, siapa dalang dibalik semua hal yang telah terjadi ini? Bahkan aku pernah berpikir, apakah aku telah melakukan suatu kesalahan besar dengan seseorang sehingga dia berniat membalas dendam?  Namun lagi-lagi aku harus bertemu dengan jalan buntu. Semuanya seolah tidak ada titik terang, bahkan bantuan dari teman-teman ku pun tak membantu banyak. Apalagi ketika tanpa sadar pikiran ku teringat kejadian tadi pagi, rasanya aku ingin menangis.

Deg

Melihat perubahan wajah Ariel membuat Laras dan Tristan semakin penasaran isi surat tersebut.

"Ariel?" tanya Laras sembari menepuk pundak Ariel.

"I-ini." Ariel menyerahkan surat itu kepada Laras tanpa mengalihkan pandangannya.

Ex Boyfriend Is My StepfatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang