Part 15

1.8K 76 35
                                    

"Sesuatu membuat ku sadar, bahwa cinta tak harus memiliki... tapi, rasa iri mulai memprovokasi. Membuat ragu hati ini."  –Ariel Ayunda Agrista

***


"Ka-kalian?"

Suara dari arah pintu masuk membuat lamunan mereka berdua buyar, lalu dengan cepat mengalihkan tatapan ke asal suara.

Disana, berdirilah Liam, Brian, Poy, dan kedua sahabat Tristan yakni Gabriel dan Vito. Dapat Ariel lihat raut terkejut terukir di wajah mereka semua. Seketika rasa malu menyusup dalam diri Ariel, membuat Ariel dengan cepat bangkit lalu menghampiri mereka dan menyuruh masuk sekalian ikut sarapan bersama.

Acara sarapan tetap berjalan seperti biasa, lancar tanpa canggung sedikit pun. Bahkan mereka tidak ada yang membahas atau hanya sekedar bertanya tentang kejadian tadi, mereka seolah mengganggap hal itu tidak pernah terjadi. Sehingga tidak perlu dipermasalahkan dan Ariel pun bisa menghela nafas lega akan hal itu.  Bahkan suasana meja makan pagi ini terlihat begitu hidup dengan dipenuhi oleh canda tawa mereka.

"Ehem, oh iya. Ariel, aku boleh berkomentar sedikit tentang masakan pagi ini tidak?" tanya Poy meminta izin.

"Hm, silahkan."

Sebelum memulai mengomentari, Poy terlebih dahulu meneguk habis minumannya. Sehingga nasi yang tadi sempat macet di tenggorokan, kini mulai berjalan lancar sesuai tujuan.

"Sejak kapan kau belajar masak? Bukannya kau tidak pernah memasak sebelumnya?" tanya Poy dengan tangan kiri menopang kepala dan langsung diangguki oleh yang lain.

"Hmm, entahlah aku tidak ingat..." Ariel masih terdiam sambil terus mengingat-ingat kapan terakhir kali ia memasak. "Ah, kalau tidak salah... dua hari sebelum kejadian itu terjadi," jelas Ariel  dengan sengaja menekankan kata kejadian itu' dengan nada dingin. Jelas sekali bahwa kejadian itu adalah kejadian yang paling tidak bisa gadis itu lupakan hingga sekarang. Ditambah lagi mengingat bagaimana dekatnya hubungan Ariel kecil  dengan mendiang sang papa. Sungguh kenangan yang tak akan pernah terlupakan.

Menyadari suasana yang mulai terasa tidak nyaman, akhirnya Vito buka suara. Mengalihkan pembicaraan yang menurutnya sangat tidak baik untuk dibahas saat ini.

Sedangkan Liam dan Brian yang tempat duduknya berada di sisi kanan dan kiri Poy, dengan sengaja menginjak kaki terbungkus sepatu milik Poy secara bersamaan sambil memberi tatapan peringatan kepada Poy yang kini tengah menahan rasa sakit dikedua kakinya yang panas bercampur nyeri akibat ulah sadis kedua temannya.

"Ah, Ariel. Bagaimana kuliah mu? Lancar?" Pertanyaan asal pun keluar dari mulut Gabriel karena dia bingung mau bagaimana agar suasana tidak canggung.

Ariel tersenyum tipis sambil menatap Gabriel, "kuliah ku baik. Bahkan semakin baik karena ada mereka bertiga." Ariel mengarahkan tatapannya kepada Brian, Liam, dan Poy. Membuat ketiganya merasa tersentuh dan dengan sengaja Poy dan Liam berekspresi terharu dengan tangan sambil menyentuh dada  bersikap seolah-olah tersentuh dengan perkataan Ariel.

"Ck, bisakah kalian tulus sedikit?"

"Ayolah, Bri. Kita ini sedang terharu. Kau ini, bisa bedakan mana yang  serius dan mana yang bercanda tidak?" ucap Liam dengan nada ketus.

"Aih, anak ini." Brian mengabaikan ucapan Liam yang terdengar melantur.

"Sudahlah, kak Bri. Biarkan saja mereka mengoceh sampai mulut mereka lelah sendiri. Abaikan saja, karena pemikiran kita berbeda dengan pemikiran mereka," cetus Ariel sambil menyuapkan nasi goreng ke mulutnya.

"Kau memang adik ku tersayang," ujar Brian dengan nada lembut karena merasa dianggap keberadaannya oleh Ariel.

"Bukan kau saja, dia juga adik kecil ku." Liam bangkit lalu menuju ketempat Ariel duduk. Sesampainya di sana, Liam langsung memeluk tubuh Ariel dari belakang. Hal itu tentunya membuat semua yang ada di sana termasuk Tristan menggeram kesal.

Ex Boyfriend Is My StepfatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang