Part 33

470 27 8
                                    

Happy Reading

Selama satu bulan berlalu, kini semua yang sebelumnya ditinggalkan sudah saatnya untuk diambil kembali. Jadwal kuliah yang mulai padat dan tugas-tugas yang menumpuk mulai membuat waktu senggang hampir tidak ada. Kini, semua orang benar-benar disibukkan dengan jadwal masing-masing. Tristan, mama, teman-teman semuanya juga sibuk. Waktu berkumpul kami pun hanya beberapa jam saja, tidak seperti dulu yang bisa sepuasnya bermain tanpa ingat waktu. Mengingat tentang teman, kini teman Ariel sudah berkurang. Namun, sekarang bukanlah saatnya untuk memikirkan hal itu. Jika terlalu terpaku oleh masa lalu, bisa-bisa masa depan akan sulit dijalani.

"Hei bocah. Jangan melamun."

Tepukan di pundak serta suara seseorang langsung membuat Ariel tersadar dari lamunan. Ariel menoleh untuk melihat si pelaku, kemudian seutas senyuman menghias bibir kala mengetahui pelakunya.

"Kau sendiri?" Ariel menoleh ke kanan dan kiri, kemudian menatap kembali ke arahnya, "dimana yang lain?" tanyanya.

Terdengar decakan pelan dari samping disusul gerakan samar pada bangku karena diduduki.

Poy mengangkat kaleng minuman di tangannya lalu membuka tutup kaleng itu dan menegaknya hingga habis. Dia menoleh ke samping.

"Berkencan."

Kalimat singkat yang diucapkan Poy terdengar ambigu di telinga Ariel. Tanpa sadar membuatnya terkekeh kecil.

"Ngawur! Jangan bercanda, itu terdengar menggelikan di telingaku!" seru Ariel seraya memukul kepala Poy.

Alih-alih merasa sakit Poy justru tertawa lantaran tak tahan untuk tidak tertawa akibat ulahnya sendiri.

"Aku pun sama. Itu menggelikan. Tapi, ngomong-ngomong kau apa kabar? Selama liburan ini kita jarang bertemu dan kau tahu ... liburan kemarin teratas tidak bagus untuk ki—ta." Mencoba berhati-hati dalam berbicara memang bukan gayanya sekali, namun hal itu harus dia lakukan mulai saat ini. Alhasil suaranya pun justru terdengar gagap.

Ariel mengubah posisi duduknya menjadi menyamping agar dapat melihat wajah Poy saat mereka berbicara. Tangan kanannya terangkat dan diletakkan di sandaran bangku yang dia duduki.

"Apa-apaan nada bicaramu ini? Kau bukan seperti dirimu sekali. Jika kau merasa khawatir denganku, sebaiknya kau lupakan pemikiran itu. Sekarang, lihatlah diriku. Aku tidak apa-apa." Dengan senyum yang menghiasi bibirnya, Ariel berkata demikian dengan harapan agar Poy tidak merasa khawatir.

"Awalnya memang berat, apalagi aku pernah kehilangan sosok yang begitu berharga di hidupku. Tapi, Laras dan Bulan bukannya tidak berharga. Hanya saja mereka terlalu jauh dariku. Begini, kami bertiga memang dekat bahkan sejak SMA kami selalu bersama. Kemana-mana kami bersama. Bahkan kami sering menginap di rumah kami secara acak. Terkadang di rumah Laras, besoknya di rumah Bulan, besoknya lagi di rumah ku. Mama juga sudah menganggap mereka seperti putrinya sendiri. Dari sanalah aku sering berpikir bahwa kami sudah mengenal satu sama lain, dan aku juga berpikir tidak pernah ada rahasia diantara kami karena jika dilihat bagaimana pun kami hampir menceritakan apapun yang kami alami kepada satu sama lain. Hampir tidak ada celah dimana kami menyembunyikan rahasia hahaha." Ariel menghentikan ceritanya, matanya mengarah ke langit. Menerawang jauh di atas sana, seakan ada sesuatu yang menarik perhatiannya.

"Tidak ada rahasia. Hahaha, pemikiran yang lucu bukan? Mana ada hal seperti itu di dunia ini. Bahkan diantara aku dan Mama pun sebenarnya ada rahasia. Ah, apa-apaan aku ini. Maafkan aku karena menceritakan cerita seperti ini Poy," lanjutnya. Ariel merasa tidak enak dengan Poy karena asik sendiri dengan dunianya.

Poy tersenyum menanggapi kekhawatiran Ariel. Diraihnya tangan Ariel dan digenggamnya erat.

"Sepertinya aku tidak ada kelas hari ini. Bagaimana jika kau ceritakan lagi kisah kalian itu? Aku ingin mendengarnya, sungguh."

Ex Boyfriend Is My StepfatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang