🌵 D U A P U L U H E N A M🌵

840 180 179
                                        

Tiga Tahun Kemudian

Seorang gadis tengah sibuk dengan kertas-kertas di mejanya. Ini sudah satu tahun gadis itu merintis usaha kecil-kecilannya. Dia memijat kepala pusing. Sudah beberapa hari ini dia sibuk mengurus berkas-berkas, dia bahkan hanya tertidur selama dua jam.

Belum lagi gadis itu sangat disibukan dengan tugas-tugas kuliah yang tidak ada akhlak. Hal itu membuat pola hidupnya rusak.

Algia Narana. Gadis itu masih tetap sama. Namun, banyak hal yang berubah dari hidupnya. Dia tidak seceria dulu.

Suara gebrakan pintu membuat gadis itu tersentak kaget.

"Gia, ayok pulang! Kamu enggak capek kerja terus? Besok acara 7 bulanan Kakak kamu, masa kamu enggak datang lagi? Waktu Abang nikah kamu enggak dateng, masa sekarang gak dateng juga?" tanya Anan kesal.

Ya, Anan sudah menikah satu tahun lalu dengan Jani. Orang yang Gia temui waktu itu. Setelah Gia pindah ke Bandung untuk berkuliah, mereka menjadi teman akrab. Anan kepincut dengan Jani, alhasil berakhirlah ke pelaminan.

"Gia enggak bisa datang, maaf. Minggu depan Gia ada penelitian di desa terpencil untuk beberapa bulan ke depan." Gadis itu menatap penuh sesal ke arah Anan.

Anan menatap Gia dengan tatapan tidak percaya. "Gia kamu tega banget sama Abang! Nanti kalo Jani kecewa karena kamu enggak dateng gimana? Kalo dia langsung brojol gimana, hah?" tanya Anan membuat Gia menggeleng.

Abangnya ini masih sama. Masih kurang waras.

"Abang ngomong apa, sih? Jangan berlebihan! Ucapan adalah doa, emang abang mau anak Abang brojol 7 bulan?" tanyanya.

Pria itu menggeleng tidak mau. "Ya, gak mau lah. Ayo pulang," ajak Anan masih kekeuh.

Gia menyenderkan tubuh di kursi. Karena kurang tidur, Gia merasa sakit di kepalanya. Dia terdiam sebentar.

Rasa sakit di kepalanya semakin menjadi-jadi. Sebisa mungkin dia menahan ringisan. Anan yang melihat gelagat aneh dari Gia mendekat ke arahnya.

"Kamu kenapa?" tanyanya panik.

"Enggak apa-apa. Kepala Gia cuma sakit sedikit. Abang enggak temenin Kak Jani?" tanya Gia menegakkan tubuh kembali.

"Kamu enggak tidur lagi?" Anan bertanya tanpa menjawab pertanyaan Gia.

"Iya. Enggak ada waktu buat Gia tidur. Gia harus cek pemasukan dan pengeluaran kafe. Belum lagi tugas kuliah Gia yang enggak ada akhlak." Gadis itu mengeluh, beberapa tahun ini Gia jarang mengeluh. Jika Gia mengeluh seperti ini, pasti dia sudah sangat lelah.

"Ayo pulang. Abang gendong," ajaknya tetapi Gia menggeleng.

Anan menghela napas. "Kalo kamu masih ngeyel, Abang kasih tahu Papa kamu!" ancamnya mengambil ponsel menghubungi Bara.

Gia bangkit dari duduk dengan sempoyongan. "Ayo pulang, jangan bilang Papa. Gia capek," ujarnya lirih menahan tangan Anan.

Pria itu segera menggendong Gia. Dia berjalan membawa gadis itu menuju mobil.

"Kamu jaga kafe. Kalo ada apa-apa segera hubungi saya," ujar Anan kepada salah satu karyawan kemudian pergi.

"Gia mau pulang, Gia enggak mau dibawa ke rumah sakit." Perkataan Gia membuat Anan mengangguk, dia tidak jadi membelokkan mobil menuju rumah sakit.

Keadaan hening beberapa saat. "Abang...." panggil gadis itu membuat Anan menoleh sekilas.

"Iya, sebentar lagi sampai rumah," sahut Anan.

"Gia capek. Gia udah berusaha lupain semuanya, tapi Gia enggak bisa. Setiap Gia tidur, Gia terus-terusan mimpi momen itu. Gia sama sekali enggak bahagia dikasih mimpi itu. Setiap hari libur, Gia tidur nyenyak karena bantuan obat tidur. Gia enggak mau mimpi itu lagi." Perkataan jujur Gia membuat Anan mengerem mendadak.

BETWEEN  US -S2- [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang