[13.Berubahnya Samuel]
''Pada akhirnya, keadilan yang mencoba ditegakkan pun akan patah oleh sebuah kekuasaan.''
.
''Dasar manusia tidak punya hati! Setelah memalsukan berita kematian putri saya, anda masih bisa berjalan dengan tenang tanpa rasa bersalah sama sekali? APAKAH IBLIS SEPERTI ANDA MASIH LAYAK UNTUK DI HORMATI?!''
Suasana di halaman SMAGARSA semakin ramai. Para murid berbondong bondong keluar dari kelas mereka untuk menyaksikan peristiwa itu. Halaman yang tadinya sepi total kini menjadi seramai pasar. Semua orang berdiri di sepanjang pinggir lapangan sambil berkomentar pada teman di sebelah mereka.
Maria maju untuk mengatasi keributan itu bersama beberapa bawahannya. Berdiri dengan angkuh tanpa malu seolah ia adalah manusia paling benar di dunia ini.
''Atas dasar apa anda menuduh saya memalsukan berita kematian Lisa?'' Tanya wanita berambut pendek itu. Wajahnya menampilkan sorot dingin, sama sekali tidak terlihat rasa bersalah di sana.
Hal itu semakin membuat Resti--ibu Lisa naik pitam. Ia merasa kematian putrinya hanya dijadikan bahan bercanda oleh kepala sekolah tidak tahu aturan ini.
''Adik saya mati bunuh diri karena di bully, setiap hari dia pulang dengan keadaan berantakan dan lebam lebam. Bagaimana bisa anda menyangkalnya dan dengan gampangnya menutup kasus ini dengan alasan kalau adik saya hanya mengalami kecelakaan?!'' Dirga--kakak Lisa ikut angkat bicara. Bagaimanapun ia tidak akan terima kalau kematian adiknya dijadikan bahan lelucon. Di sini nyawa yang bersangkutan, tapi mereka yang berasal dari kalangan atas dengan mudahnya mengatakan kalau semuanya terjadi karena kecelakaan. Dan mereka sama sekali tidak mencantumkan nama gang yang melakukan bullying terhadap adiknya.
Sang kepala sekolah hanya diam di posisinya dengan kedua tangan terlipat di depan dadanya. Sedangkan semua murid terdiam dengan bentakan keras dari Dirga. Pemuda 20 tahun itu terlihat sangat emosi dengan mata menatap tajam sang kepala sekolah yang terlihat tidak peduli padanya. Suara tangis balita tadi makin menjadi, namun seolah tuli semua yang ada di sana mendiamkannya.
Anggi, gadis tinggi itu berlari menerobos kerumunan lalu mengangkat bayi berusia sekitar 8 bulan itu. Bahkan rasa kemanusiaan seolah pupus di sekolah yang katanya menerapkan sila ke 2 dalam pancasila itu.
Kemanusiaan yang adil dan beradab
Tapi dimana sisi kemanusiaan yang katanya adil itu? Bahkan seorang wanita tua pun diperlakukan seperti orang hina yang tidak pantas masuk ke dalam lingkungan orang berada.
''Kita tidak memiliki bukti kalau Lisa dibully, jadi keputusan terbaik adalah tidak memperpanjang permasalahan ini.'' Jawab Maria.
''KALIAN TIDAK AKAN PUNYA BUKTI KALAU TIDAK ADA SATU PUN YANG MAU MENCARINYA!! Kasus yang belum selesai saja sudah ditutup oleh satu pihak, apa mungkin buktinya akan datang sendiri?!'' Suara lantang Dirga kembali menyela ucapan Maria. Dapat dilihat urat urat kemarahan di leher pemuda itu saking emosinya.
''Tapi keputusan sekolah adalah mutlak, dan tidak--''
''Ini bukan keputusan sekolah, semua hanya mengikuti keinginan egois anda sebagai kepala sekolah!'' Resti memekik dengan suara seraknya. Sakit beribu sakit yang ia rasakan, saat kematian putrinya sendiri dijadikan hal sepele dan dianggap biasa oleh semua orang. Tidak ada yang mengerti kah dengan perasaannya? Perasaan seorang ibu!
''Bagaimana bisa manusia picik seperti anda diangkat menjadi kepala sekolah?''
''Jaga bicara anda! saya bisa menuntut anda atas ketidaknyamanan yang terjadi di sini.'' Maria lantas maju dengan emosi bersamaan dengan kedua tangannya yang nyaris menampar pipi bu Resti.
KAMU SEDANG MEMBACA
ECCEDENTESIAST [✔]
Teen Fiction"Papa pura pura sayang ya sama aku, 15 meniiitt aja. Biar aku tau rasanya punya papa yang sayang sama aku, walaupun cuma pura pura." Seena mengerti seperti apa kehidupan yang ia jalani saat ini. Sebuah kehidupan dengan dirinya sebagai peran utamanya...