4 | Lebih Dekat

6.3K 762 4
                                    

***

Setelah kejadian memalukan yang terjadi di depan rumahnya tadi, Ainka langsung berlari keluar dari rumah, ia benar-benar malu karena kejadian tadi. Kenapa ia tidak bisa mengendalikan dirinya, ia merutuki dirinya berulang kali. Ah, sangat memalukan.

Ia memilih pergi ke rumah Bu Ajeng yang terletak tak jauh dari rumahnya. Selain ingin menghindar dari kejadian tadi, ia juga ingin melayangkan protes pada Bu Ajeng. Sudah ketiga kalinya Bu Ajeng tidak mengatakan padanya jika ada penghuni baru lagi.

Jika ditanya kenap tidak bilang, pasti jawabannya 'Ibu sudah bilang ke Sindu'. Cowok-cowok di rumahnya itu memang sama saja, membuat Ainka depresi.

"Ngapain kamu ke sini?" celetuk seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahunan itu dari teras rumahnya. Daster berwarna biru laut yang melekat ditubuhnya, serta rambut yang di cepol ke atas khas ibu-ibu.

Ainka yang berada di depan gerbang mendelik kesal ke arah Ajeng. "Bu, nggak cukup apa empat cowok aja? kenapa nambah satu lagi? Udah berasa punya suami banyak, nih. Nggak baik buat kesehatan aku."

Ainka berjalan menuju teras sambil terus menggerutu.

"Ibu udah bilang, tapi dia tetep kekeuh. Katanya dia udah cari beberapa tempat kos, tapi udah pada penuh semua. Dia juga udah mohon-mohon, kan, Ibu jadi kasihan. Dan dia juga mau bayar dobel," jelas Ajeng.

Ainka mendaratkan bokongnya di kursi teras Ajeng. Lalu ia mencomot pisang goreng yang berada di meja. Ainka menatap Ajeng curiga. "Ibu nyuruh dia bayar dobel, ya?" selidik Ainka sambil memasukkan pisang goreng ke dalam mulutnya.

"Enak aja! Orang dia sendiri yang mau!" sanggah Ajeng dan Ainka hanya ber-oh-ria saja.

Mata Ainka menjelajahi taman di halaman rumah Ajeng. Taman yang begitu cantik. Begitu banyak macam bunga yang di tanam oleh Bu Ajeng. Sedangkan di samping rumahnya terdapat pohon rambutan yang dulu katanya di tanam oleh kakek Bu Ajeng. Pasti pohon itu banyak penunggunya, karena sudah sangat tua, pikir Ainka.

Dulu Ajeng selalu bercerita tentang kehidupannya. Mulai dari mengapa dia menjadikan rumahnya menjadi kost-kostan, mengapa dia tidak menjual saja rumahnya itu, dan juga cerita mengenai perjodohan dengan suaminya. Menurut Ainka itu sangat menarik.

Jadi Ajeng dan Aras—suaminya—dulu menikah karena perjodohan yang dilakukan oleh kakeknya. Ajeng menolak keras perjodohan itu, tapi berbeda dengan Aras yang malah terima-terima saja di jodohkan. Tapi lama kelamaan
Ajeng lah yang malah menjadi bucin sekali dengan suaminya itu.

Dan mengapa ia memilih tinggal disini, sebenarnya rumah yang ditempati Ajeng ini adalah rumah kakeknya. Dulu sebelum kakeknya meninggal, kakeknya itu meminta ia untuk tinggal rumahnya. Dan setelah kakeknya meninggal Ajeng memutuskan untuk tinggal di rumah ini saja. Sementara rumah yang ia jadikan kost itu tak mau dijual. Alasannya, kalau tempat itu bisa dimanfaatkan kenapa harus dijual. Katanya seperti itu.

"Kamu nggak pulang?" tanya Ajeng membuat Ainka langsung menoleh.

Ainka mencebik. "Ngusir ceritanya?"

"Iya," ujarnya santai. "Pulang sana, urusin suami-suami kamu itu," ledeknya sambil mengunyah pisang goreng.

Ainka langsung menggeleng. "Gak ah, enak di sini, banyak makanan."

"Dasar perut gembel," cibir Bu Ajeng membuat Ainka terkekeh.

"Om dimana, Bu?" tanya Ainka.

"Terbang, cari duit." suami Ajeng adalah seorang pilot. Wajar saja jika Ainka jarang melihatnya.

"Terus Ibu di rumah cuma enak dong rebahan doang."

"Ya iyalah, menikmati kekayaan," pamer Ajeng.

"Halah, timbang gitu aja aku juga punya." cibir Ainka.

Kost-MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang