9 | Remang - Remang

5.1K 595 11
                                    

"Lo pecel lele mau?"

Ainka yang sejak dari sibuk menikmati wajah tampan Zein tidak menyahut ucapan cowok itu. Ia sibuk menatap wajah Zein dari samping memperlihatkan raut muka Zein yang sedang menatap warung pecel lele di depannya. Wajah tampan Zein membuat Ainka berulang kali mengucap dalam hati.

Ainka pikir ia akan dibawa ke kafe atau ke rumah makan yang elit. Bukannya Ainka tidak mau makan di tempat seperti ini, malah ia sering sekali makan di warung pinggir jalan. Tapi yang Ainka maksud adalah, apakah iya orang seperti Zein mau makan di tempat seperti ini? Di lihat dari penampilannya saja Zein terlihat seperti cowok yang tempat tongkrongannya di kafe bukan di sini. Apa iya ia hanya menguji Ainka apakah Ainka cewek pemilih atau bukan?

Tapi kan mereka baru saja keluar dari kafe, kenapa sekarang malah memilih melipir ke warung di pinggir jalan? Kan, makan di sana juga bisa. Apa yang Ainka pikirkan tadi benar.

"Jangan bengong. Mau magrib nih, ntar kalo lo kesambet repot urusannya." Zein terkekeh geli menoleh ke arah Ainka yang sedang bengong menatap dirinya.

Ainka langsung terkesiap mendengar ucapan Zein, merasa sedikit kikuk dan malu. Ainka hanya menyengir saja karena ia juga tidak begitu dengar ucapan Zein tadi karena sibuk dengan wajahnya. Eh, atau malah kuping Ainka yang bermasalah?

"Ayo!" ajak Zein sambil berjalan menuju warung pecel lele itu, namun Ainka masih saja diam di tempat seperti orang linglung.

"Kemana?" tanyanya bingung.

Zein yang sibuk dengan ponsel di tangannya langsung menghentikan langkahnya lalu menoleh ke belakang. "Lo gak mau makan di sini? Mau makan yang lain? Mau makan apa?"

"Hah? Nggak kok, Nggak. Gue mau makan di sini." Ainka menggeleng-gelengkan kepalanya mencoba menepis pikiran Zein yang mengira jika dirinya tidak berselera makan di warung makan pilihan cowok ganteng itu.

"Yaudah, ayo." Zein memutar tubuhnya kembali melanjutkan langkahnya. Namun lagi-lagi ia menoleh ke belakang saat tak melihat Ainka yang berada di sampingnya.

Sedangkan Ainka di belakang sedang merutuki dirinya, dengan memukul kepalanya kecil berulang kali. Sampai-sampai ia tak menyadari keberadaan Zein yang sudah berada di sampingnya.

"Lo kenapa, sih?"

"Hah?!" Ainka langsung menoleh dan melotot sambil memegang dadanya karena terkejut.

"Kenapa?" Tampang Zein berubah serius, membuat tubuh Ainka menegang. Bagaimana kalau setelah ini Zein langsung ilfeel dengannya, karena tingkah aneh Ainka tadi? Dan kenapa Ainka tidak bisa mengatur emosi dan kegugupannya? Malu kan jadinya. Ya Tuhan, Ainka kudu ottoke ini.

Ainka meringis sambil meremas kedua tangannya di samping tubuhnya, tangannya tiba-tiba langsung berubah menjadi dingin. Ainka juga menatap Zein takut-takut karena wajah laki-laki di depannya ini sangat datar dan juga dingin.

Lalu tanpa aba-aba tangan Zein menggenggam tangan Ainka. "Kalo mau di gandeng ngomong dong! Jangan diem gitu, 'kan, kalo lo kesambet gue juga yang bingung."

Jantung Ainka yang tadinya berdetak dengan kecepatan sedang, sekarang berdetak dengan kecepatan penuh. Mungkin saat ini muka Ainka terlihat sangat tegang. Zein ini tidak kasihan apa dengan Ainka yang sejak tadi kesulitan mengontrol degup jantungnya?

Sebelum jantungnya lelah bekerja keras, dan malah berhenti sekarang juga, Ainka berusaha melepaskan tangannya yang masih saja di genggam oleh Zein. Namun, energi Ainka tetap saja kalah dengan Zein. Ainka tidak berhasil menarik tangannya dari genggaman cowok itu.

"Kalo lo gandeng tangan gue terus, gue makannya gimana?" Ainka membuka suaranya untuk mencairkan suasana yang sangat sepi ini. Padahal di warung itu banyak orang-orang yang juga sedang makan dan bercanda, tapi kenapa di tempat ia dan Zein duduk ini terasa sangat sepi.

Kost-MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang