♪ Bruno Mars - It Will Rain
Ainka duduk di ruang tamu dengan televisi yang menyala menampilkan acara sebuah berita. Namun, atensinya sama sekali tak tertuju pada tayangan itu. Sejak tadi ia hanya melamun dengan ponsel yang menyala, menampilkan roomchat-nya dengan Zein.
Setelah kejadian waktu itu di dermaga, Zein kembali seperti biasa. Ia kembali menjadi seseorang yang sangat antusias saat menceritakan tentang sesuatu hal yang ia alami. Ia masih sama, dia masih menjadi Zein yang selalu memberikan momen berkesan untuk Ainka. Bahkan, dia pun tak pernah membahas perkataannya sore itu, seolah ia tak ingin Ainka terlalu memikirkan itu.
Namun, banyak hal yang sulit Ainka pahami belakangan ini. Mengenai sikap Zein yang menurut Ainka sedikit berubah. Sekarang cowok itu jarang menampakkan dirinya di depan Ainka. Zein tak lagi menunggu Ainka di bawah pohon rimbun di depan fakultas Ainka. Ainka tak lagi melihat senyuman lebar yang menyambut Ainka saat keluar dari fakultas. Terakhir, mungkin seminggu yang lalu?
Seminggu yang lalu, saat ia baru saja keluar dari kelasnya, senyum manis terukir di bibirnya. Ia berharap hari ini Zein menjemputnya. Namun, senyum itu perlahan memudar, saat bukan Zein yang menunggunya di sana. Cowok yang menunggunya di sana memang bukan Zein, tapi ia tau cowok itu memiliki niat yang sama, yaitu menjemput Ainka.
Cewek itu menunduk, memejamkan matanya, mengenyahkan segala macam pikiran negatif di otaknya. Sekelebat bayangan Zein muncul, menghantam pikiran Ainka. Zein duduk di atas motornya. Zein melambai ke arahnya. Zein tersenyum ke arahnya. Zein mengelus kepalanya. Sial! Dada Ainka seperti di tikam oleh batu yang sangat besar.
Sedetik kemudian, ia langsung membuka matanya, lalu menghirup udara sebanyak-banyaknya. Ia mengedarkan pandangan ke sekitarnya dengan mata yang sudah memburam. Napasnya memburu, dadanya berdetak begitu kencang. Ada rindu yang seolah merenggut seluruh jiwanya. Apakah ia akan kehilangan ... dia?
Saat ia ingin menangis, tiba-tiba sebuah tangan kekar menggapai pipinya. Kepalanya mendongak dengan genangan air di matanya yang sangat ketara. Matanya memejam seiring bahunya bergetar begitu hebat. Tangan kekar itu berpindah ke belakang kepala dan punggung Ainka, memeluk Ainka begitu erat. Dia mengelus punggung gadis itu, memberikan ketenangan pada gadis rapuh yang sok tegar itu.
"Why?" tanya cowok berambut hitam itu, membisik. Ia mengelus surai hitam Ainka, sesekali mengecupnya.
Ainka tak menanggapi. Ia terus terisak dalam dekapan cowok ber-hoodie hitam itu. Tanpa ia minta, bayangan Zein kembali muncul. Malam itu, Ainka termenung di kafe. Berharap ada notifikasi pesan dari Zein. Saat itu ia masih berpikir positif, ia menganggap Zein sedang sibuk dengan skripsinya, mungkin.
Ainka menopang dagunya, menatap jendela kaca yang menampilkan lampu-lampu jalanan dan lalu lintas kendaraan serta lalu lalang para pejalan kaki dengan membawa payung. Malam itu hujan sedang turun, butiran air hujan mengalir di jendela kaca besar. Ainka menghela napas gusar, entah kenapa ia menjadi resah. Meskipun ia masih berpikir positif tentang Zein, tapi di dalam hatinya juga sangat kesal. Ainka jenuh, kenapa hatinya masih berharap?
KAMU SEDANG MEMBACA
Kost-Mate
Teen FictionBagaimana perasaanmu jika tinggal bersama lima orang cowok dalam satu rumah, dan kamu adalah cewek satu-satunya? Takut? Sedih? Atau malah bahagia karena tinggal bersama dengan cowok ganteng? Ainka Atlana terpaksa harus tinggal bersama kelima cowok...