Ainka menghela napas sejenak, menatap Zevon yang menunduk. Benar, tidak ada yang kebetulan, semua alur cerita, semua alur kisah pasti ada campur tangan Tuhan, dan semua jelas takdir Tuhan.
Ainka mengepalkan tangannya saat angin malam tiba-tiba berhembus pelan menyapu badannya, membuat dadanya berdesir sekaligus merasakan nyeri di ulu hatinya.
"Jadi, ini alasan kenapa setiap hari minggu lo nggak ada di rumah? Acara keluarga, ya?" Zevon mendongak menatap Ainka dengan matanya yang sayu.
Zevon diam.
Sudah tidak bisa berkata apa-apa, selain hanya matanya yang menggambarkan kepedihan yang sedang ia rasakan.
Merah dan berkaca. Ia putus asa.
Sesak dan nyeri terus mendera ulu hati Zevon, membuat degup jantungnya berdegup semakin cepat, seburuk-buruknya perasaan yang pernah Zevon rasakan.
Zevon masih termangu diam, terus menatap Ainka yang berada di hadapannya dengan tatapan sayu. Seolah ia sudah tidak bisa berbicara apapun tentang hal ini, karena mulutnya mendadak seperti orang yang bisu.
Mengingat bagaimana gadis ini membuat Zevon tidak ingin melepaskan Ainka apapun yang terjadi, begitu besar perasaannya untuk gadis dihadapannya ini. Tak peduli apa yang sudah terjadi dan apa yang akan terjadi, yang Zevon ingin hanya Ainka
Namun, saat melihat bagaimana kondisinya saat ini, Zevon sedikit putus asa. Penampilan yang sudah sedikit berantakan, mata yang jelas menjelaskan kelelahan, juga sisa-sisa air mata yang masih begitu jelas di wajahnya membuat Zevon sadar, jika ia masih egois, maka ia akan terus menyakiti Ainka.
"Lo denger gue apa enggak sih?" tanya Ainka pelan.
Zevon masih diam mencoba mencerna isi kepalanya.
Melihat Zevon yang terus diam, Ainka maju satu langkah mendekat ke arah Zevon. Matanya menelisik ke seluruh bagian wajah Zevon, kemudian tangannya terangkat untuk merangkum wajah Zevon.
Rasa pedih mulai melingkupi Ainka kembali, begitu juga dengan Zevon dengan mata yang sudah berair. Bola matanya menelisik lebih dalam pada bola mata Zevon, di sana sama sekali tidak ada amarah, membuat Ainka tersenyum sangat tipis.
"Gue tau, ini hal yang nggak mudah buat kita. Tapi gue mohon, perlahan coba terima ini ya?" sepedih mungkin Ainka mencoba menahan isak yang akan keluar. "Kita berdua butuh waktu buat kontrol emosi kita, buat tenangin diri kita masing-masing, gue nggak mungkin terus cerca lo dengan beribu pertanyaan, sedangkan lo nggak tau apa isi hati dan pikiran lo sekarang."
"Gue nggak nunggu keputusan lo, keputusan gue buat akhiri hubungan ini udah bulat. Tapi gue nunggu lo buat kita bicara dengan hati yang sama-sama tenang." Ainka membasahi bibirnya yang kering. "Inget, nggak ada yang berubah, nggak ada yang kembali, Von."
Sebelum melepaskan tangannya dari pipi Zevon, Ainka mengusap air mata Zevon yang menetes. "Gue pulang, ya? Inget lo juga harus pulang ke rumah. Jangan pulang malem-malem."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kost-Mate
Teen FictionBagaimana perasaanmu jika tinggal bersama lima orang cowok dalam satu rumah, dan kamu adalah cewek satu-satunya? Takut? Sedih? Atau malah bahagia karena tinggal bersama dengan cowok ganteng? Ainka Atlana terpaksa harus tinggal bersama kelima cowok...