Seokjin menghela napasnya ketika namanya dipanggil dari ruang tengah. Baru saja masuk, Ahn Seokjin harus merasakan lelah yang berkali-kali lipat karena harus berurusan dengan orang tuanya malam ini.
"Kenapa memanggilku?" Seokjin bertanya dengan nada dingin. Dia menatap wajah Ayah dan Ibunya yang duduk di sofa berdampingan sejenak.
"Tentu saja karena ada hal yang ingin kami bicarakan denganmu," jawab Nyonya Kim, Ibu dari dua anak Tuan Ahn.
"Jika tentang perusahaan keluarga, aku menolak membahasnya," kata Ahn Seokjin. "Keputusanku sudah bulat dan sama sekali tak bisa diganggu-gugat!"
Ayah Seokjin sambil bersandar, menatap putra sematawayangnya dengan lekat, dari ujung kaki hingga kepala. "Kenapa? Kenapa kau begitu enggan bergabung dengan perusahaan keluarga?"
"Karena itu tidak membuatku bahagia," jawab Seokjin ringan. Laki-laki itu masih setia berdiri, beberapa meter dari pandangan mata orang tuanya.
"Umurmu sudah cukup matang, Ahn Seokjin. Tak ada lagi yang perlu kau tunggu," kata Ayah Seokjin. "Kau hanya perlu belajar sedikit, setelah itu kau bisa menggantikan posisiku. Kau tentu akan bahagia, dengan kekuasaan yang kau punya."
"Tidak," bantah Ahn Seokjin. "Kalau memang menjadi CEO memberi banyak kekuasaan, kenapa masa depan Ahn Yejin ditentukan orang lain? Kenapa kekuasaannya ... tak bisa mengalahkan kekuasaanmu dan istrimu?"
"Ahn Seokjin, kau bicara apa?" tanya Nyonya Kim dengan mata membelalak marah. "Berani sekali kau berlaku begini!"
"Kekuasaan kami ... kekuasaan apa yang kau maksud? Karena kekuasaan kami ... masa depan Ahn Yejin yang mana, yang berubah?" tanya Ayah Seokjin, dengan nada bicara santai, jelas berbeda dengan istrinya.
"Ahn Yejin menikah ... dengan laki-laki yang tidak dia kenal. Dia juga tidak mencintai calon suaminya, setidaknya saat itu," jawab Seokjin.
"Yak, Ahn Seokjin―"
"Eomma!" Seokjin meninggikan suaranya, ketika dirasa jenuh mendengar tiap kata yang keluar dari mulut Ibunya. "Aku berbicara yang sebenarnya. Jangan bilang kalau aku ini tak tahu apapun!"
Ayah Seokjin membenarkan posisinya, matanya mengedip satu kali sebelum menatap putranya lagi. "Kau keberatan kalau kami menentukan pasangan hidupmu juga?"
Ahn Seokjin dengan tegas mengangguk. "Tentu saja. Kalian tak berhak menentukan pasangan hidupku dan menikahiku dengan orang yang tak kukenal sebelumnya!"
"Kalau begitu ... kalau kami bilang bahwa kau tak akan mendapat perlakuan yang sama seperti Ahn Yejin. Apa kau bersedia bergabung dengan perusahaan keluarga?"
Ahn Seokjin menertawakan kalimat Ayahnya. Kalimat itu ... dengan jelas terdengar seperti hanya omong kosong. "Ani. Aku tetap tak akan bergabung dengan perusahaan keluarga."
"Kau berbicara seperti ini, menghindari kami yang ikut campur mengenai pasanganmu nanti, memangnya kau sudah punya kekasih? Kenapa menentang sekali hal yang kami lakukan demi kebaikanmu?" tanya Ibu Seokjin.
"Hanya untuk keberlangsungan perusahaan keluarga, izinkan aku meralatnya," kata Ahn Seokjin sarkas.
"Apa alasanmu menolak bergabung? Kau sudah punya kekasih, Ahn Seokjin?" ulang tanya Tuan Ahn.
"Ye, Abeoji," jawab Seokjin tegas. "Aku punya dan aku mencintai dia."
"MWO?" Tenggorokan Nyonya Kim mendadak tercekat. Apa yang dikatakan putranya benar-benar mengejutkan. "Ahn Seokjin, *nae adeul. Kau ingat perjanjianku denganmu 'kan? Jika tak mau bergabung dengan perusahaan keluarga ... maka lanjutkan kuliah pelayaranmu."
"Ne," jawab Seokjin ringan. "Aku akan melanjutkan pendidikanku di sini. Aku akan jadi nahkoda―aniya, seorang kapten ... seperti yang kau inginkan."
Ibu Seokjin menarik satu sudut bibirnya. "Tidak. Kau harus melanjutkan pendidikan mastermu ... di kampus yang sama, saat kau menyelesaikan kuliah pertamamu."
"Eomma!" Seokjin melayangkan protesnya. "Aku akan melanjutkan pendidikanku di sini, aku tak akan pergi lagi ke luar negeri."
"Sayangnya ... pilihan hanya ada dua. Bergabung dengan perusahaan ... atau lanjutkan kuliah pelayaranmu di luar negeri ...," ujar Nyonya Kim dengan raut arogan.
"Geurae, aku akan lanjutkan pendidikan masterku di luar negeri, di kampus awal tempatku menyelesaikan kuliah pertama," jawab Seokjin.
Ibu Seokjin meraih ponselnya. Dia menekan tombol rekam, lalu menyuruh Ahn Seokjin mengulang kalimatnya. "Katakan sekali lagi bahwa kau tak keberatan untuk melanjutkan pendidikan mastermu di luar negeri."
Ahn Seokjin menghela napas. Lalu dengan terpaksa, dia melakukan apa yang Ibunya inginkan. "Aku ... akan melanjutkan pendidikan masterku di luar negeri."
Saat Ibu Seokjin kembali menekan tombol di layar ponselnya, saat itu juga Ahn Seokjin pamit undur diri di hadapan kedua orang tuanya. Laki-laki itu berjalan cepat, setengah berlari, menuju tangga dan segera masuk ke dalam kamarnya.
°・Him; Seokjin・°
Jam makan siang, Seokjin bersama Sojung dan rekan seprofesinya yang lain―kecuali Taehyung―memilih untuk makan di kantin perusahaan. Menunya lumayan menarik, tak terlalu membosankan.
Mereka makan, sambil berbicara tentang banyak hal. Mulai dari hal yang ringan, sampai hal mengenai pekerjaan ... intinya, mereka membahas segalanya. Sambil tertawa dan melupakan sejenak tanggung jawab mereka yang lumayan berat.
"Temanku, memilih mengakhiri hubungannya saat tahu kekasihnya akan pergi mengambil beasiswa di luar negeri." Giliran Chae Seungkwan yang bercerita. Laki-laki itu memilih mengangkat cerita temannya yang terjadi saat awal masuk universitas dulu.
"Kenapa begitu? Dia menolak berhubungan jarak jauh?" tanya Umji, yang duduk di sebrang kursi Seungkwan.
Seungkwan mengangguk. "Dia bilang, hubungan jarak jauh itu sembilan puluh persen melepas semua rasanya, tujuh persen mempersiapkan hati untuk gagal, sisanya berharap pasangannya kembali dengan rasa cinta yang sama," jawab Seungkwan. "Rasanya ... mustahil. Bukan begitu?" Seungkwan menatap Sojung dan Seokjin bergantian, meminta pendapat mereka.
"Aniya!" sangkal Seokjin. "Tidak semuanya begitu. Tergantung pada masing-masing orang. Jika rasa cinta pada pasangannya begitu besar, maka mungkin saja kemungkinan kembali dengan perasaan yang sama mendapat persentase paling besar."
Seungkwan sedikit kecewa atas pendapat Seokjin. "Sunbae, cinta datang karena terbiasa. Biar kuberitahu kalau yang kau cinta ... cepat atau lambat pasti tergantikan dengan yang selalu ada di sisimu." Seungkwan menatap Sojung, "Bukan begitu?"
Sojung menghentikan santapannya sejenak. Lalu mengangguk. "Aku juga tak percaya bahwa hubungan jarak jauh bisa berhasil. Semua terlihat mustahil, hanya omong kosong. Membuat luka yang menyakitkan, ketika tahu pasangan yang kita tunggu ternyata sudah menemukan cintanya yang lain."
Umji ikut menimpali, "Geutji, Sunbae! Betapa menyakitkannya jika hal itu benar-benar terjadi. Lebih baik langsung diakhiri, jika ingin melakukan hubungan jarak jauh. Omong kosong itu ... hanya akan menunda dan memperparah luka dalam hati."
Seungkwan menyinggung Seokjin lagi. "Sunbae, kau mendengarnya? Hubungan jarak jauh hanyalah omong kosong. Sama besarnya rasa cinta saat kembali setelah melakukan hubungan jarak jauh pun ... hanya omong kosong."
Seokjin mendadak kaku, dia melamun sejenak. Setelah lamunannya berhasil ia tepis, dia menjawab Seungkwan. "Eo, geuraeyo."
Ahn Seokjin melanjutkan makan siangnya tanpa selera. Dia begitu gelisah ... apalagi setelah mendengar bahwa kekasihnya tak percaya akan hubungan jarak jauh. Napasnya dia tarik dalam-dalam, lalu melepasnya perlahan.
Ahn Seokjin ... masih dipermainkan oleh hati dan pikirannya. Laki-laki itu kacau, benar-benar dibuat gundah.
°・Him; Seokjin・°
A/N:
*nae adeul = Anakku
mamaknya Ahn Seokjin resek juga ya😭😭😭😭
mampus kapal kita kena ombak lagi😓kita ketemu secepatnya! jangan lupa tekan bintangnya!🌟⭐😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Him; Seokjin
FanfictionYang Sojung adalah pegawai di salah satu perusahaan penerbit yang ada di Kota Seoul, Korea Selatan. Luka patah hati mengantar atensinya pada pegawai baru―yang beberapa waktu lalu, sebenarnya telah mengatakan perasaannya. Setelah sekian waktu berlalu...