59: Mulai Mengancam

72 26 22
                                    

Sojung memeras kepiting di mangkuk nasi milik Seokjin. Laki-laki itu belum duduk di mejanya, lantaran dia masih harus membawa air minum beserta gelas ke meja makan.

Begitu Seokjin selesai, Sojung kembali ke kursinya. Dia memeras daging kepiting di atas mangkuk nasinya. Usai itu dia melepas sarung tangan plastiknya, lalu mulai menyantap makan siang akhir pekannya bersama sang kekasih.

Sojung mendadak tersenyum walau mulutnya terisi penuh oleh nasi, ketika Seokjin menatapnya damai tanpa emosi. Mata Seokjin seolah mengatakan perintah untuk Sojung makan dengan banyak hari ini.

Seokjin memberikan Sojung kimchi, kemudian menunggu sampai gadis itu memasukkan kimchi yang dia berikan ke dalam mulut. "Wah, kupikir aku sudah banyak menghabiskan waktuku untuk makan bersamamu, tapi mengapa ... rasanya selalu sama? Tidak berkurang, justru malah bertambah."

"Mwoga?" Sojung bertanya sambil menutup kunyahannya untuk kimchi yang tadi Seokjin beri.

"Geunyang ...,"--Seokjin mengangkat bahunya sejenak--"aku selalu bahagia tiap melihatmu menikmati makananmu. Selera makanku selalu meningkat, saat aku makan bersamamu."

Sojung tersenyum malu. "Begitukah?" Tangannya mengambil dumpling dengan bantuan sumpit, kemudian Sojung memberikan dumpling itu pada Seokjin. Gadis itu meletakkan dumpling di atas mangkuk nasi Ahn Seokjin. "Kalau begitu, selamat makan. Ayo nikmati makananmu, seperti aku menikmati makananku."

Seokjin tersenyum. Tangannya bergerak untuk menyentuh dumpling dengan sumpit, lalu memasukkan dumpling utuh ke dalam mulutnya dalam satu waktu. Usai kunyahan pada dumpling berakhir, Ahn Seokjin kembali membangun topik pembicaraan. "Omong-omong, di luar tadi, aku melihat temanmu. Apa ada tamu lain hari ini, selain aku?"

Sojung mengangkat kedua alisnya, rautnya menunjukkan bahwa dia sama sekali tak mengerti akan apa yang Seokjin tanyakan. "Tamu? Temanku?"

Seokjin mengangguk. "Iya, temanmu. Apa aku salah?―tapi, sepertinya tidak. Kami bahkan sempat berbicara, dia bilang dia mau mengunjungimu. Dia berdiri di belakangku saat aku menekan pin, namun saat aku ajak masuk, dia dihubungi seseorang jadi akhirnya dia pergi dan tidak jadi menemuimu."

Semua alat makan diletakkan di meja, sementara otaknya terus berputar, Sojung juga mengetuk meja dengan jari telunjuknya. "Seokjin, semua temanku yang hendak berkunjung selalu kuberitahu untuk beri kabar lebih dulu. Hari ini juga kurasa tidak ada yang memberi kabar akan datang berkunjung ke sini."

"Oh, ya?" Makanan di depan mata, seolah bukan lagi bintang bersinar, yang menarik fokus dan selera. Mengikuti apa yang dilakukan Sojung lebih dulu, Seokjin melepas sumpit maupun sendok di atas meja. "Kalau begitu, siapa dia? Kenapa dia mengenalmu?"

Sojung bertanya, "Bagaimana rupa wajahnya? Apa kau mengingatnya?"

"Sayangnya, aku tidak terlalu memerhatikan. Dia juga memakai kaca mata hitam, aku tidak bisa melihat matanya," jawab Seokjin.

"Kalau begitu, apa yang dia gunakan?" tanya Sojung.

"Dia pakai rok putih yang panjangnya sampai bawah lutut, pakai sweater warna hijau toska, kaca mata, bucket hat warna senada, juga sling-bag," jawab Seokjin.

Sojung langsung menyadari tentang hal yang janggal, tepat setelah Seokjin menggambarkan lewat kalimat, apa yang digunakan gadis yang mengaku sebagai temannya. "Sweater hijau toska."

"Apa?" Seokjin bertanya.

"Kau melupakannya? Orang yang tempo hari lalu, gagal meracunimu. Dia yang mengaku sebagai temanku tadi."

Tenggorokan Seokjin terasa seperti tercekat selama beberapa saat. "Tidak mungkin." Seokjin menghela napas lantaran menyesal. "Pelakunya ada di depan mataku, bahkan berbicara padaku. Bagaimana bisa aku tidak menyadarinya?"

Him; SeokjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang