It's Me, Vega || 42

49 4 7
                                    


Happy Reading ♡

***

Author POV


Tiga hari berlalu sejak kejadian Ilham meminta maaf kepada Vega. Saat ini Vega dan teman-temannya sedang menghadapi Ujian Nasional, yang artinya sebentar lagi mereka akan lepas dari masa SMA.

“Anjirlah susah banget MTK.” Keluh Gilang.

“Namanya aja matematika, ngerjainnya mati-matian.” Sahut Rian.

“Ilham mah suka tiba-tiba budek kalo lagi ujian.” Sindir Nuga.

Ya, mereka semua saat ini sedang berada di kantin, Vega pun ikut berkumpul, ia duduk tepat disamping Ilham.

Ilham tidak menanggapi sindiran Gilang, entahlah akhir-akhir ini ia benar-benar tidak mood, dan merasa tidak tenang.

“Makin dingin aja pak ketu.” Celetuk Rian.

“Ujian lo gimana Ga?” Tanya Ninda.

“Begitulah.” Jawab Vega seadanya.

“Oh iya, seminggu lagi pengumuman SNMPTN ya? Semoga gue lolos supaya ga pusing-pusing SBM.” Keluh Ninda.

“Eh btw kita gaada yang pisah kan? Semua kuliah di Jakarta kan woy?” Tanya Ninda heboh.

Semua mengangguk, kecuali Vega.

“Ga, lo kuliah disini kan?” Tanya Risya.

Vega bingung harus menanggapi seperti apa.

“Gatau gue, liat nanti.” Jawab Vega asal.

“Yeee lo, orang mah udah punya planning lo masih ngawang aja.” Jawab Ninda.


*** 

Hari ketiga Ujian nasional berjalan dengan lancar. Semua siswa langsung bersorak ketika selesai mengerjakan soal karena itu artinya mereka hanya tiggal menunggu pengumuman kelulusan dan mulai melangkah mengambil jalan masing-masing.

“Hm.. gais.” Vega menatap teman-temannya, Ninda, Risya dan Emil. Tidak ada Alaska Tim karena Vega memang meminta waktu hanya untuk berbicara dengan teman-temannya.

“Gue mau ngomong sesuatu sama kalian.”

“Jangan bikin gua takut Ga.” Jawab Ninda.

Vega tersenyum, “Kita ngomong dirumah gue ya?”

Mereka semua menyetujui ajakan Vega. Hingga sampai dirumah, tepatnya dikamar Vega, teman-temannya itu sudah sangat penasaran dengan apa yang akan dibicarakan Vega.

“Kenapa si Ga?” Tanya Emil.

“Gue mau pamit sama kalian, gue mau kuliah di Korsel.” Jawab Vega.

Ninda yang sudah menduga gelagat sahabatnya ini pun memerosotkan bahunya, bayangan ia yang akan berjuang bersama Vega di perguruan tinggi sudah lenyap.

“Maaf.” Ucap Vega, menundukan wajahnya merasa bersalah karena baru memberitahu hal ini. Ia hanya tidak ingin Ilham tau tentang ini. Mungkin jika laki-laki itu tau dan menghentikan Vega, dirinya akan langsung luluh dan tidak jadi pergi.

“Gue udah duga lo mau bilang ini, kapan lo berangkat?” Tanya Ninda.

“Lusa, abis pernikahan bang Vigo gue langsung berangkat.”

“Aaaaaa Vega.” Ninda langsung memeluk Vega. “Kenapa lo ga bilang dari kemarin-kemarin si, kita jadi gapunya waktu buat main tau ga hiks.. gue udah ngebayangin kita berjuang bareng di kerasnya dunia kuliah.” 

“Maaf.”

Ninda melepaskan pelukannya pada Vega.

“Gausah minta maaf Ga, kalo lo punya tujuan lain disana, pergi aja raih apa yang mau lo raih di sana.” Sahut Emil.

“Iya Ga, kalo ini udah jadi keputusan lo kita sebagai sahabat lo akan selalu dukung apapun itu.” Tambah Risya.

“Hiks.. Vega.. iya deh lo boleh pergi, tapi jangan lost contact sama kita ya.” Ucap Ninda dengan air mata yang sudah membasahi pipinya.

Vega terkekeh, “Pasti, gue ga mungkinlah lupain kalian. Tapi gue bener-bener ga akan balik ke Indonesia sampe kuliah gue selesai, bahkan liburan pun gue akan tetap disana.”

“Aaaaa Vega, 4 tahun dong lo disana.” Rengek Ninda.

“Iya 4 tahunan kira-kira, karena kan gue latihan bakor dulu.” Jawab Vega.

“Apa si yang lo cari Ga?” Tanya Emil.

Risya mengangguk setuju dengan pertanyaan Emil, “Emang lo gabisa di sini aja raih mimpi lo itu?”

“Gabisa, karena yang gue cari itu diri gue. Gue mau jadi Vega yang beda, Vega yang mandiri. Disana gue udah siapain semuanya, rencana gue untuk kuliah sambil kerja, ikut jadi relawan, organisasi kampus, gue mau sibukkin diri gue setiap harinya dan yang pasti tanpa satupun orang yang gue kena. Jadi pas gue balik nanti gue udah bukan Vega yang penuh luka, gue udah sembuh.” 

Ninda, Risya dan Emil memeluk Vega menyalurkan dukungan mereka untuk Vega.

“Tapi Ilham udah tau?” Tanya Risya.

Vega menggeleng.

“Lo gamau ngasih tau dia?” Tanya Risya lagi.

Vega menggeleng lagi.

Vega bangkit dari duduknya, kemudian berjalan ke arah meja belajarnya mengambil sebuah amplop berwarna biru muda. Itu adalah sebuah surat yang Vega siapkan untuk Ilham. Vega menyerahkan surat itu pada Ninda.

“Ini apa?” Tanya Ninda.

“Tolong kasih Ilham nanti.”

Mereka semua menatap Vega sendu.

“Lo gak mau ngomong langsung aja sama dia?” Tanya Emil.

“Gue gamau pertahanan gue runtuh, kemarin waktu Ilham minta maaf sama gue jujur aja gue hampir goyah, nyatanya hati gue masih milik Ilham. Tapi, gue sendiri belum tau gue ini siapa, gue belum bisa nemuin tujuan gue ataupuan mencintai diri gue sendiri, itu sebabnya gue gamau ketemu Ilham untuk sementara waktu ini.”

“Gue rasa lo udah nyiapin semuanya baik-baik. Jadi, gue dukung lo. Semangat Vega. nanti gue sama yang lain nganterin lo pergi ke bandara.” Jawab Emil.

“Makasih, besok di pernikahan bang Vigo gue juga minta ayah, bunda atau bang Vigo, untuk ga kasih tau apapun ke keluarga tante Mira. Mungkin Ilham ngerasa kalo ini hukuman buat dia, tapi tolong kalian yakinin Ilham kalo ini keputusan gue, ya?”

“Iya Ga, serahin sama kita ya?” Jawab Risya sambil mengusap bahu Vega.

“Okeee kalo gitu, hari ini gue mau nginep aja disini, karna kan besok akadnya bang Vigo, sekalian bantu-bantu tante Wulan.” Celetuk Ninda

“Apa yang mau dibantu? Orang udah besok acaranya. Udah tinggal duduk doang mantennya.” Jawab Risya.

“Bantu ngabisin makanan maksud gue.” Jawab Ninda dengan cengiran khasnya.

“Makan aja yang lo pikirin.” Celetuk Risya.

Vega bersyukur teman-temannya ini mendukung apa yang menjadi keputusannya. Vega sekarang akan pergi tanpa rasa berat sedikit pun. Karena ia bukan hanya pergi untuk belajar, lebih dari itu. dan Vega sudah siap.







...TBC...


pendek banget ya... huhu maapin :)

See yaaa... ♡

👇🏻👇🏻👇🏻👇🏻👇🏻👇🏻
★★★★★★★★

···

It's Me, Vega ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang