4. Awal Pendakian

1.8K 225 4
                                    

Jalur Putri, Gede Pangrango, September 2016 ..

Rencananya mereka naik dari jalur Gunung Putri atau lebih sering di sebut jalur Putri, basecamp Cibodas yang menjadi tempat mereka menginap malam tadi hanya tempat pertemuan dan peristirahatan sejenak. Dari sini mereka masih harus pergi ke arah Cipanas untuk mencapai basecamp Putri. Semua urusan SIMAKSI (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi) sudah diurus oleh Zaki sebelumnya. Jam sepuluh pagi rombongan mereka berangkat dengan menyewa angkot.

Setelah kira-kira 30 menit perjalanan, angkot yang mereka tumpangi akhirnya berhenti di depan sebuah warung kecil di pedesaan di kaki gunung Gede Pangrango. Semua anggota regu turun dari mobil, menggendong keril mereka dan mengikuti Zaki.

Di samping warung, sebuah setapak menanjak mengantar mereka ke sebuah warung nasi yang ramai oleh pendaki. Rombongan mereka disambut hangat, mereka saling melempar senyum dan anggukan, sebagai sesama pendaki.

Pukul satu, setelah urusan makan siang dan ibadah beres, mereka semua mulai bergerak menuju basecamp Putri berjarak kurang lebih 500 meter dari warung nasi. Jalannya berupa pematang sempit yang membelah perkebunan kol yang sepertinya baru selesai panen. Di depan mereka Gunung Gede Pangrango berdiri takzim, megah menjulang langit. Puncaknya bersembunyi di balik awan, penuh misteri.

Jalur yang akan mereka lewati ini merupakan satu dari tiga jalur pendakian yang tersedia. Jalur Putri ini terkenal dengan treknya yang curam tanpa bonus dan menguras tenaga, namun paling singkat di antara jalur lainnya. Tak banyaknya lahan datar selama trek pendakian membuat para pendaki harus pintar-pintar mengatur waktu agar tidak kemalaman di jalan, karena sulit mencari tempat mendirikan tenda darurat di jalur kecuali di beberapa pos bawah.

Zaki melapor ke dalam basecamp sebentar lalu kembali mengumpulkan semua anggotanya.

“Berhitung dulu, ya,” kata Zaki.

Satu persatu orang menyebutkan nomor mulai dari satu sampai lima belas. Setelah memastikan kelompok mereka lengkap, Zaki melanjutkan.

“Sekarang jam satu siang hari Sabtu. Sebelum mendaki kita baca doa bersama dulu, ya, biar selamat sampai puncak dan turun lagi besok. Berdoa menurut kepercayaan masing-masing, dimulai.”

Serempak, semua kepala tertunduk, memejamkan mata. Dalam khidmatnya doa, mereka memohon atas keselamatan semua anggota pendakian ini, mulai dari langkah awal mendaki hingga esok hari mereka pulang kembali ke rumah. Angin berhembus, menyapa lembah sunyi itu, menerbangkan anak-anak rambut dan mengelus pucuk kepala mereka, seolah memberkati, selamat jalan para anak manusia!

Tak ada yang bisa menjamin keselamatan mereka selain yang Maha Kuasa, maka doa setulus hati sudah sepantasnya dipanjatkan. Seluruh perkebunan kol di sekeliling berselimut sunyi, seakan ikut mengamini dan mengawal doa mereka yang melangit, menembus tujuh lapisannya menuju pengabulan.

Amin.

“Selesai. Oke ... pesan sedikit. Kunci sampai puncak itu satu, jangan gengsi! Capek bilang, jadi kita langsung berhenti. Jangan maksain diri, banyak pendaki yang gagal karena maksain. Satu berhenti, semua berhenti. Hati-hati bicara dan melangkah. Dan jangan salah sangka! Tujuan kita naik gunung itu bukan puncak, puncak itu bonus, tujuan kita yang sebenarnya adalah turun lagi dengan selamat. Juga paling penting, nggak boleh buang sampah! Gunung bukan tempat sampah! Kita bawa turun lagi semua sampah kita selama pendakian. Sekecil apa pun. Terutama cowok yang ngerokok, dilarang lempar puntung sembarangan. Oke?”

Setelah sesi wejangan singkat itu, pendakian mereka benar-benar dimulai. Dengan takzim mereka melangkah dalam diam. Masih terbawa suasana khidmatnya doa dan briefing singkat beberapa saat lalu. Jalan setapak tanah yang menanjak di depan basecamp menjadi pembuka jalur. Untuk beberapa saat trek masih didominasi oleh perkebunan warga. Baru setelah menyeberangi aliran sungai kecil mereka mulai memasuki hutan.

SUMMIT ATTACK [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang