Telepon dari Bogor

2.3K 278 2
                                    

Jatinangor, Oktober 2017 ...

Sudah sebulan kehidupan indekosnya dimulai. Semuanya lancar jaya. Ibu kosnya baik minta ampun. Hampir tiap pagi Elin membuatkan goreng pisang. Bapak kos juga kelewatan mau direpotkan. Tiap kipas angin rusak beliau siap dengan kotak perkakasnya. Sementara, makhluk-makhluk penghuni kamar kos lainnya sama serunya hingga kadang ia lupa kalau mereka sebenarnya baru kenal seumur jagung.

Tiap malam sabtu penghuni kos punya rutinitas menonton film bersama di ruang tengah dengan laptop. Paling sering mereka nonton film horor dan laga, karena Ran sempat mengeluh kalau film cinta-cintaan tidak seru ditonton bersama, apalagi kalau penontonnya semuanya cewek begini. Untungnya semuanya mengamini. Sayangnya, Elya tidak pernah ikut acara ini, karena ia rutin pulang ke Bandung tiap Jumat sore, membuat yang lain seringkali protes. 

"Aku kangen masakan ibuku!" katanya ketika pamit sambil sok ber-aku-aku ke semua penghuni indekos, "Makanan di lemari aku makan aja buat nonton film!"

Secepat kilat semua penghuni indekos berubah bahagia melepas kepergian Elya mendengarnya.

"Ran, mau ikut nggak?" pertanyaan rutin tiap Elya ingin pulang dilontarkan kembali sore ini. Setelah tahu bahwa Ran adalah kenalan kakaknya, Elya jadi sering mengajaknya berkunjung ke rumahnya.

"Nggak, kapan-kapan aja ... salam buat A' Arkan," jawab Ran tanpa melepas pandangan dari laptopnya.

"Ibu gua nanyain lu."

"Kok bisa? Kan belum kenalan kita." Ran mengernyit, kini menatap Elya.

"Gua sering cerita. Abisnya gua masih aneh aja kalau lu pernah naik gunung bareng sama Arkan, terus sekarang jadi teman satu kosan gua!"

"Itulah kenapa orang bilang dunia sempit!"

"Sempit karena takdir! Kalo nggak takdir mah luas-luas aja ini dunia!"

"Udah sana berangkat, kalau kemalaman lu serem naik motornya! Nanti ada yang nemplok di boncengan gimana?!"

"Sialan!" Elya ngeloyor keluar kamar dengan cepat, ia memang paling takut dengan hantu.

"Hati-hati, Kak! Salam juga buat ibu lu! Nanti gua main kalau disediain gurame asam manis!" seloroh Ran mengingat kembali masakan mantap ibunya Elya yang pernah dibawa ke kosan setelah pulang rutin akhir minggunya itu.

Ran kembali fokus pada laptop yang menyala di depannya. Dari kamar ia bisa mendengar suara bising di ruang tengah. Shiwa dan yang lain pasti sedang ngerumpi. Jumat sore seperti ini tidak ada yang punya jadwal di kampus, kecuali ada urusan organisasi, mereka pasti akan berkumpul di kosan.

Ran bukannya tidak mau gabung, tapi ia sedang barusaha meneruskan novelnya yang sempat terbengkalai karena sibuk pindahan. Sudah sebulan ia mengabaikannya di laptop, belum sempat menyentuhnya lagi. Jujur saja, Ran hanya bisa menulis kalau ia berada di tempat yang ia rasa nyaman. Sore ini akhirnya keinginan melanjutkan novelnya kembali, indikator akurat bahwa ia sudah betah tinggal di indekos ini.

Ponselnya di sebelah laptop berbunyi, layarnya menyala terang, sebuah nama muncul di layar. Ran tanpa sadar meneguk ludahnya. Setitik ragu mucul di dadanya ketika hendak menerima panggilan itu. Bukan apa-apa, ia khawatir akan disembur begitu mengangkatnya.

"Halo ..." sapa Ran.

"Halo sayang ..."

Ran menutup matanya, sudah sebulan ia tidak mendengar suara ini. Penyebabnya tentu karena dirinya sendiri yang menolak semua telepon yang masuk darinya sebulan belakangan. Dengan dalih sibuk, sebenarnya dia cuma tidak ingin disembur kalau sampai ketahuan keluar dari asrama tanpa mengabari lebih dulu.

SUMMIT ATTACK [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang