Nomor Telepon

1.8K 254 1
                                    

Arkan dan Elya hanya terpaut dua tahun. Jadinya sejak kecil mereka lengket bagai permen karet. Apalagi soal sekolah. Elya getol sekali mengikuti jejak kakaknya. Sejak TK sampai SMA mereka selalu satu sekolah. Kalau tanya Ibu, alasannya agar lebih memudahkan mobilisasi, atau mudahnya 'sekalian'. Keduanya tidak masalah, terutama Elya karena ia malah merasa diuntungkan karena punya supir pribadi.

Jenjang kuliah menjadi kali pertama mereka mengahapus sistem 'sekalian' itu. Selain sudah dewasa, Elya lebih memilih kuliah di kampus yang dekat. Ia menolak keras ide mandiri lewat ngekos. Baginya tinggal bersama orang tua adalah pilihan hidup paling benar. Terserah orang bilang dia manja.

Karena kedekatan ini, keduanya jadi seperti sahabat karib yang berkedok saudara sedarah. Kalau lagi baik, Elya akan bicara sopan dengan Arkan, memanggilnya Aa' dan beraku-aku ria. Tapi kalau sedang galak, ia tidak sungkan menggigit abangnya itu.

“El, minta nomor Ran, dong,” pinta Arkan saat malam minggu mereka sedang sibuk nonton saluran TV kabel di ruang tengah.

“Emang Aa' nggak punya?”

“Dulu ada, tapi dia ganti nomor kayaknya habis pulang dari gunung.”

Elya menyipitkan matanya, “Jujur lu A’ sama gua, lu kepikiran ‘kan pasti karena nama dia sama kayak mantan lu?”

Arkan mendengus malas, “Nggak ada urusannya lah, dek ... gua udah setahun nggak ketemu Rani lagi! Basi kali!”

Eleuh ... eleuh ... keliatan banget lu belum bisa move on-nya! Gua heran deh sama lu, kok bisa secinta itu sama cewek brengsek gitu.”

“El!” Arkan melotot mendengar Elya menyumpahi Rani seperti itu, “Mana nomor Ran?”

“Buat apaan? Nggak mau ngasih ah kalau lu penasaran ke Ran gara-gara mantan lu!”

Arkan mengusak kepala adiknya gemas, “Otak lu tuh isinya prasangka buruk semua, ya. Heran. Ya udah nanti gua minta langsung sama orangnya. Besok gua anter balik ke kosan.”

Arkan angkat kaki dari ruang tengah. Ia jengah karena percakapan barusan. Kenapa orang-orang suka mengganggunya soal Rani? Dulu saat baru putus dan ia masih di Yogyakarta, Dewi habis meledeknya. Sekarang di Bandung malah adiknya sendiri yang selalu mengungkit-ungkit. Malah ledekan mereka tambah membuat kesal karena mengaitkannya dengan Ran. Kasian cewek itu bisa tiba-tiba tersedak.

-

Sesuai janji. Juga demi nomor telepon. Arkan mengantar Elya kembali ke Jatinangor hari Minggu sore. Setelah bertengkar sedikit soal kendaraan apa yang harus dibawa, mereka akhirnya berangkat dengan mobil Arkan. Elya mengeluh kenapa harus pakai mobil, harusnya mereka naik motor Elya saja. Jadi nanti setelah Arkan mengantar Elya, motornya bisa ditinggal di indekos sementara Arkan pulang dengan angkutan umum ke Bandung. Arkan tentu menolak keras. Enak saja ia sudah jauh-jauh mengantar, pulangnya terlantar.

“Aa’ kan ke Jatinangor bukan buat ngantar aku, Bu ... tapi mau ketemu temanku! Aku nih cuma 'sekalian'!” keluh Elya ketika Ika, ibu mereka, menengahi perdebatan mereka.

Arkan melotot saja mendengarnya dan melengos ketika Ika bertanya penasaran.

Mereka sampai di kosan Elya pukul lima sore. Ada Elin yang sedang sibuk menampi beras di pekarangan. Ia tersenyum lebar melihat kedatangan Elya dan Arkan, mengangguk-angguk ketika Arkan izin ke atas.

“Ran pergi ke mini market depan gang,” jawab Shiwa ketika Elya bertanya.

Bahu Arkan langsung merosot, “Ya udah gua langsung pulang, deh ...”

“Nggak mau nunggu dulu?” tanya Elya.

“Nggak usah, kapan-kapan aja ke sini lagi.”

Arkan langsung kembali ke mobilnya. Ia pamit pada Elin yang terlihat sibuk memilah gabah. Ia menggenggam kunci mobilnya. Pikirannya menimbang apa ia harus menunggu Ran atau pulang begitu saja tanpa menemuinya.

SUMMIT ATTACK [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang