Obrolan Hati

1K 202 0
                                    

Shiwa tahu masalah Ran bukan hanya kepergian mamanya. Ada hal lain yang sudah lebih dulu mengusiknya hingga kejadian duka itu amat membuatnya terpukul. Bukan sehari dua hari ia mengenal Ran hingga ia hampir bisa membaca Ran layaknya koran. Satu yang membuatnya kesal, sahabatnya itu punya kebiasaan menyimpan sendiri resahnya, memendamnya hingga menjadi bom yang menghancurkan dirinya ketika meledak.

“Kamu bisa cerita sama aku kalau ada apa-apa, Ran. Aku temanmu dari awal masuk kuliah. Aku siap dengarin semua keluh kesah kamu bahkan cuma karena kesal rebutan kamar mandi sama anak kosan.” Shiwa menarik nafas.

Ran tersenyum lemah. “Kamu kan udah tau apa masalahnya …”

“Yakin cuma itu? Aku merasa ada yang lain …” Shiwa menatap Ran yang kini sibuk menikmati pemandangan desanya dari puncak bukit di mana mereka sedang duduk saat ini. Melihat Ran yang sepertinya tidak kunjung mau bercerita, Shiwa merasa putus asa. “Aku tidak tau udah berapa kali aku ngomong begini sama kamu. Capek juga … kadang aku ngerasa kamu mungkin nggak nyaman sama aku. Aku ini sahabatmu bukan?”

Shiwa tanpa sadar malah menumpahkan uneg-unegnya sendiri pada Ran. Mau bagaimana. Ia sahabat Ran, mereka selalu berdua sejak masuk kuliah. Di asrama satu kamar. Pernah pula satu kosan. Tahun ini genap tiga tahun mereka saling mengenal, tapi melihat Ran masih saja menyimpan sendiri semua resahnya membuatnya gemas.

Ran menggigit bibirnya. Ia tahu sisi dirinya yang satu itu menyebalkan. Tapi ia memang tidak terbiasa menceritakan masalahnya dengan orang lain. Bukan tidak mau, ia hanya bingung bagaimana memulainya.

“Begini ...” Ran mulai bercerita.

-

“Semuanya terjadi di waktu yang berdekatan, sampai aku nggak sadar kalau bom di dalam diriku ini makin besar dan besar …” kalimat Ran menggantung di udara.

Shiwa juga diam sebentar. Keduanya menikmati semilir angin lembah yang meniup wajah mereka. Langit sore yang menaungi mereka perlahan memerah, biasnya memberikan warna oranye hangat pada seluruh lembah yang sunyi.

“Kepergian mamamu … sudah rela belum?”

Ran mengangguk mantap. “Begini lebih baik. Dari pada Mama kesakitan lebih lama lagi …”

“Gimana soal keinginan jadi doktermu?”

Ran menggeleng, menatap jauh ke arah lembah di bawahnya. "Alasan awalku masuk jurusan ini karna Mama. Sekarang aku gak tau harus gimana. Aku ambil cuti karna aku sama sekali nggak punya keinginan untuk lanjutin kuliahku."

Shiwa menatap Ran. "Nggak papa ... pikirin baik-baik dulu. Kamu bisa ambil keputusan  kalau kamu udah yakin. Tapi saranku, kamu harus cari alasan itu di dalam diri kamu sendiri."

Ran menoleh. Anak-anak rambutnya tertiup angin lembut mengelus wajahnya yang bingung.

"Kamu nggak bisa tumpuin motivasimu di orang lain … kamu yang ngejalanin, kamu yang paling tau … ada nggak di dalam diri kamu secuil aja keinginan buat jadi dokter.”

Ran mengangguk-angguk pelan. Ia akan coba pikirkan baik-baik.

“Berarti tinggal satu masalahmu …”

Ran mengangkat alisnya.

“Arkan."

Dahi Ran serta merta mengerut dalam.

"Kulihat kamu belum bisa lupain dia." Saat wajah Ran berubah menjadi ekspresi 'sok tau kamu', Shiwa buru-buru menambahkan, "Aku sering liat kamu mandangin nomor Arkan di ponselmu selama di sini."

Ran akhirnya menyerah. "Udah setahun aku lost contact sama dia, terakhir ketemu juga setahun lalu waktu mamaku pertama jatuh."

"Kalian kenapa sih sebenernya? Padahal sama-sama suka, kenapa serunyam ini?" Shiwa sebal sendiri, pasalnya ia tahu pasti fakta ini.

SUMMIT ATTACK [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang