Tanpa Pamit

1.1K 200 2
                                    

Arkan menggendong keril besarnya di punggung ketika akhirnya sampai di Bogor malam hari ini. Shuttle bus yang ia tumpangi berhenti di pool Bogor yang berlokasi di Bogor Trade Mall (BTM). Dari sini ia masih harus naik kendaraan sekali lagi menuju tempat pelatihannya di daerah Situgede. Melihat jaraknya yang cukup dekat dan hanya memakan waktu tiga puluh menit, Arkan memilih memesan ojek online dari pertigaan di depan BTM. 

Kawasan itu padat sekali. Bangunan BTM yang berdiri tinggi di belakangnya terang benderang di malam hari. Temboknya yang berupa kaca transparan menampilkan bagian dalam pusat perbelanjaan yang ramai itu. Sebuah layar LCD besar berdiri di taman kecil yang ada di tengah pertigaan jalan raya di depannya, menampilkan iklan sebuah merek ponsel dengan model artis cantik. Belasan angkot berwarna hijau dan biru memenuhi bahu jalan di depannya, membuat macet, sementara pengendaranya sibuk berteriak menarik penumpang. Polisi Dinas Perhubungan (DisHub) berseragam abu-abu dan biru dongker di tengah jalan tampak malas-malasan mengatur lalu lintas, mereka sibuk memukul-mukul ringan badan angkot yang ngetem, meminta mereka segera jalan.

Arkan menunggu sekitar sepuluh menit sampai ojeknya datang. Setelah memastikan ia bisa duduk nyaman dengan keril besarnya itu, ojeknya melaju. Jalan Raya Ir. H. Juanda yang lebar dipenuhi mobil dan motor yang saling menyalip dengan kecepatan tinggi. Di sisi kanan jalan ada kawasan Kebun Raya Bogor yang dipagari. Tak lama mereka berbelok ke arah jalan Kapten Muslihat. Kembali motor mereka terjebak macet, dan Arkan tak bisa menghentikan benaknya yang mengembara ketika mereka terhenti tepat di depan Stasiun Bogor.

Arkan terpekur. Sesuatu menyentil dadanya. Ia teringat pada Ran. Pada pertemuan pertama mereka di depan stasiun ini, dan perpisahan pertama mereka di stasiun ini pula. Benaknya meronta ketika berpikir kali ini mereka harus berpisah sekali lagi. Kini bahkan untuk jarak yang lebih jauh dari sebelumnya.

Jika dulu ia sama sekali tidak berharap akan dipertemukan kembali dengan cewek itu, maka kini ia malah berdoa sepenuh hati agar langit masih menjodohkan mereka. Jodoh ... Ia kembali mengingat kata-kata Dewi soal pertemuannya dengan Ran. Bahwa jika mereka dipertemukan kembali setelah pendakian, maka itu artinya berjodoh. Mereka memang bertemu kembali, tapi apa bisa mereka dikatakan berjodoh ketika akhirnya pertemuan ini malah kembali membawa mereka pada perpisahan?

Arkan menatap sekali lagi ke arah bangunan putih itu. Ia meneguk ludahnya, berharap dengan begitu ia bisa menghilangkan gumpalan yang kini mencekat lehernya. Di atas kepalanya ada jembatan penyeberangan yang ramai dilalui para penumpang kereta. Suara hentak kaki mereka sayup-sayup terdengar di antara suara deru mesin kendaraan di sekelilingnya. Pelan, ojeknya berjalan, menyelip di antara kendaraan, menerobos macet di malam hari dan perlahan meninggalkan Stasiun Bogor.

Benaknya masih teringat Ran.

-

Setelah seharian penuh berada di rumah sakit menunggui Sandra, Ran akhirnya pamit untuk kembali ke Jatinangor. Tentunya setelah memastikan bahwa keadaan mamanya mulai membaik. Anjas sudah memesankan tiket kereta atas permintaan Sandra tanpa bertanya. Ran menurut saja karena sudah terlanjur dipesan, meski sebenarnya naik kereta jauh lebih ribet ketimbang naik bus.

Ran menyempatkan diri untuk pulang ke rumah sebentar untuk mandi dan ganti baju. Sudah dua hari ia memakai baju yang sama tanpa mandi. Sendirian berada di rumah membuat Ran menyadari betapa sepi rumah ini. Bayangan Sandra yang menghabiskan harinya seorang diri di rumah kecil ini membuatnya sedih. Anak satu-satunya kuliah di luar kota dan hanya pulang tiap liburan semester, sementara suaminya juga bekerja dari pagi hingga sore. Mungkin ini yang membuat Sandra ngotot ingin pindah rumah ke Jatinangor di awal kuliahnya dulu.

Setelah rapi-rapi Ran segera berangkat menuju Stasiun Bogor. Meski tinggal di Kota Hujan ini, ia hampir tak pernah menggunakan layanan kereta. Karena selama hidupnya di sini, ia tak pernah punya kesempatan untuk jalan-jalan. Satu-satunya kesempatan mengunjungi bangunan putih ini adalah dua tahun lalu saat akan bertemu dengan rombongan pendakian.

SUMMIT ATTACK [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang