1. Kisah Dua Kota

5.4K 406 10
                                    

Bogor, April 2016 ...

Hujan deras turun di luar rumah, dari jendela kamar yang masih terbuka lebar tampias air masuk tertiup angin. Sisa-sisa musim penghujan yang sudah mencapai akhirnya menyerang kota yang punya julukan "Kota Hujan" ini. Butirannya membentur atap rumah, menimbulkan irama gaduh yang khas.

Sambil memandangi layar laptop yang menyala terang menampilkan laman kosong dengan tanda loading yang terus berputar di tengahnya, pikirannya terus menanyakan pertanyaan yang sama sejak ia mendaftar SNMPTN, masa iya kuliahku pun harus Mama yang milih?

"Kok internetnya lambat, ya, ini kenapa, sih?! Coba Ran kamu tutup dulu, terus buka ulang laman SNMPTN-nya."

Ran melakukan seperti yang mamanya bilang, ia menekan tanda x merah di pojok layar dan kembali membuka tautan SNMPTN. Ia sedikit terusik dengan kehadiran kedua orang tuanya yang sejak tadi setia merapat di belakang kursinya.

"Hujan, Ma ... geludug, juga ... nanti aja buka pengumuman SNMPTN-nya kalo udah nggak ujan. Nggak bakal berubah jadi cicak goreng juga, kan, pengumumannya kalo nggak diliat sekarang."

"Iiih ... harus secepatnya diliat, Mama nggak bisa tidur kalau belum mastiin kamu keterima!"

Mamanya, Sandra, adalah tipe ibu-ibu yang sukanya buru-buru. Apa-apa harus diselesaikan sekarang juga di depan matanya, kalau belum, ia akan terus ngoceh sampai telinga rasanya mau pecah. Tipe ibu-ibu arisan banget pokoknya. Ran sendiri kadang suka kewalahan menanggapi ocehan mamanya yang bisa lebih panjang dari cacing pita itu.

"Ma, ngeri tauk ini hujan petir malah internetan, orang-orang aja TV dicabut-cabutin ini kita malah internetan! Nanti diazab kesambar petir bisa runyam urusan rumah kelahiranku ini, Ma!" ujar Ran yang mulai hilang kesabaran, pasalnya ini sudah percobaan yang ketujuh.

"Nggak apa-apa, rumah ini udah mau dijual juga, udah terus coba lagi!" sahut Sandra.

Sinyal WiFi-nya memang sering bermasalah karena hujan, tidak hujan saja sudah ngadat dan Ran hafal betul tabiat jaringan wi-fi indigo ini.

"Mama nungguin pengumuman ini udah 2 bulan, masa sekarang kamu minta Mama nunggu lagi?!" suara Sandra melengking, ia tak sabaran melihat layar laptop yang tak bosan-bosannya menampakkan laman putih bersih.

Anjas di sebelahnya membenahi kacamatanya, tanda kalau ia juga sudah mulai hilang kesabaran, pada internet dan tentu juga pada istrinya. Sinar matanya mengatakan kalau ia sebenarnya ingin membelah laptop Ran menjadi dua dan mengutuk penyedia WiFi langganannya ini.

"Nanti saja lihatnya kalau hujan berhenti," kata Anjas akhirnya.

"Oke!!" Ran menepuk tangannya, ia dengan cepat menutup laman Google dan membuka Microsof Word-nya. Novel ketiganya sudah menunggu.

Anjas segera keluar dari kamar putri semata wayangnya itu. Ia tidak mengajak serta Sandra yang masih setia mencak-mencak di belakang Ran. Wajah istrinya itu gusar setengah mati, tegang bagai menunggu kelahiran cucunya, padahal Ran sendiri yang akan kuliah biasa saja.

"Nanti kalau udah bisa aku panggil Mama!" Ran menepuk-nepuk lengan Sandra, "Mama sekarang ngeteh dulu sana, pasti Papa udah lagi bikinin teh!"

Sandra mencak-mencak keluar dari kamar Ran, ia mengomel soal jendela yang berisik karena tertiup angin dan meminta Ran menutupnya karena air hujan membuat gorden kamarnya basah. Ran hanya mendeham sebagai jawaban sementara netranya terpaku pada layar laptop.

Dengan cepat dirinya terhanyut dalam dunia khayalan yang ia ciptakan sendiri. Saat-saat hujan seperti ini selalu jadi waktu yang efektif baginya untuk menulis. Entah kenapa.

SUMMIT ATTACK [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang