Undangan dari Bandung

1K 201 0
                                    

Jatinangor, Maret 2019 …

Sejak pagi buta Elya sudah mondar-mandir di dalam kamarnya. Sudah selesai mandi, sudah pula selesai berpakaian. Tapi ia berkali-kali menanggalkan blazer hitam yang ia pakai dan terpekur di pinggir kasur sambil menggumamkan sesuatu. Wajahnya tegang dan sedikit pucat, berkali-kali ia meminum air putih dari botolnya yang kini hampir tandas.

“Santai, El! Jangan terlalu tegang, nanti malah nggak lancar presentasinya.” Ran mengingatkan sambil memasang tali sepatu ketsnya yang baru kering dijemur. “Dan berhenti minum! Nanti kalau pas presentasi lu kebelet gimana!”

Lili yang masih memeluk bantal gulingnya di kasur atas menguap malas, “Mbak Elya nggak biasanya tegang begini. Apa perlu aku kasih obat penenang?”

"Kamu punya Li?" Tanya Elya.

Lili menggeleng sambil menguap.

“Jadwal sidang lu jam berapa?” tanya Ran yang kini sudah menyandang tasnya.

“Jam 8 mulai.” Elya meremas tangannya yang berkeringat. “Sumpah gua deg-degan banget gimana dong? Ini gua jadi mules bawaannya.”

Ran menepuk pundak Elya, “Yuk berangkat bareng gua. Lu sekarang tegang karena belum maju. Nanti kalau udah di depan, gua yakin tegang lu ilang. Gua juga tiap ujian praktik begitu.”

“Semangat Mbak Elya! Aku nanti datang kalau udah selesai sidangnya, ya!” kata Lili dalam keadaan setengah tidur. Matanya sudah tertutup dan tak lama kemudian ia kembali terlelap.

Thanks, Li.” Elya mengehembuskan nafas kasar. Tangannya meraih blazer dan memakai tasnya. Ia lalu pamit pada para penghuni kos yang lain. Semuanya mendoakan dirinya atas kelancaran sidang skripsinya. Elya merasa berterima kasih walau sebenarnya dukungan itu malah makin membuatnya tegang. Karena itu Elya hanya bisa membalas dengan senyum tegang dan melangkah membuntuti Ran.

“Berkabar, ya. Semoga kelas gua kelar pas lu selesai sidang. Banyak-banyak berdoa. Sebelum mulai, tarik nafas yang panjang dulu, biar agak tenang.” Ran menepuk-nepuk pundak Elya sebelum berpisah di jalanan kampus.

 -

Tiga jam di dalam ruang sidang, Elya keluar dengan wajah lega sekaligus hampir menangis. Di dalam sana para dosen penguji baru saja membantainya dengan beragam pertanyaan bertubi-tubi hingga ia hampir kewalahan menjawabnya. Untunglah ia bisa menjawab sebagian besar pertanyaannya dengan baik. Beberapa teman yang menonton sidangnya kini mengerubunginya dan memeluknya, memberinya selamat.

“Selamat revisi El!” seorang temannya mengalungkan selempangan bertuliskan Elyana Halim, S.M., ada pula yang mengalungkan selempang yang dibuat dari rencengan biscuit cokelat. Sebagian lagi memberikan bunga dan cokelat.

“Makasih, ya! Gua baru sidang udah ngasih kado banyak begini! Nanti wisuda lagi, ya!” Elya nyengir lebar.

“Mbak Elya!!!!”

Dari kejauhan dua orang melambai padanya. Dari suaranya saja Elya sudah tahu siapa yang datang. Senyuman di wajahnya makin lebar.

“Ran! Lili!" Elya berlari kecil ke arah keduanya. "Makasih banget udah datang!” Elya dengan dua tangan yang dipenuhi hadiah memeluk Ran dan Lili bersamaan.

Ran menyerahkan sebatang cokelat dengan pita dan catatan kecil berisi ucapan selamat pada Elya. “Selamat, yaaakk! Akhirnya lulus juga! Bagadang lu, susahnya nyariin dospem, revisi yang bertumpuk-tumpuk, nangisnya lu, marahnya lu, akhirnya kebayar hari ini! Selamat tidur nyenyak nanti malam!” Ran nyengir, lalu melanjutkan, "Seenggak semalam aja, sebelum lu kembali tempur sama revisi pasca sidang!"

Lili juga memberikan sebuah cupcake yang dibungkus cantik dengan catatan kecil di atasnya. “Mbak kalau udah lulus main-main ya ke kosan! Aku kan belum lulus. Masih stay di kosan.”

SUMMIT ATTACK [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang