Ran memutuskan untuk meditasi. Mengosongkan pikirannya dari bayangan Arkan. Sejak menginjakkan kaki di rumah ini ia bertekad untuk menjadikan momen liburan ini sebagai ajang penyucian hati. Apapun yang membuatnya menangis malam tahun baru lalu harus dimusnahkan dan Ran yang dulu harus kembali. Ia amat menyadari bagaimana kuliahnya terganggu karena hal ini. Untunglah waktunya tepat di akhir semester hingga ia bisa memanfaatkan jarak yang makin menjauh ini untuk menenangkan dirinya.
Lama ia berpikir. Menjajaki, memahami, menolak lalu menerima bahwa sebenarnya ia telah jatuh cinta pada Arkan. Entah sejak kapan, boleh jadi sejak Arkan mengantarnya ke dokter mata, atau saat mereka bertemu lagi di tangga indekos setelah setahun atau malah sejak awal ia sudah menaruh hati ketika melihat cowok itu di dalam regu pendakian.
Selama libur Ran menyibukkan diri dengan berkumpul bersama teman-temannya di Bogor. Bukan hanya untuk menghentikan pikirannya berkelana ke Bandung, namun juga untuk menghindar dari Sandra yang selalu menanyakan pertanyaan yang sama tiga kali sehari. Seolah pertanyaan itu adalah obat yang harus diminumnya untuk mengurangi kegusarannya akan hidup anak semata wayangnya.
Sandra memang tampaknya tidak berniat menyerah. Meski sekarang ia lebih berhati-hati ketika mendekati Ran untuk membicarakan soal kuliahnya. Ia tahu benar betapa cerdas anaknya. Untuk itu ia selalu ingin Ran kelak menjadi orang besar dengan kelebihannya itu. Ada alasan kuat ia ingin Ran menjadi dokter. Bukan karena dulu itu mimpinya. Tapi karena ia tahu kehidupan yang baik akan Ran dapatkan jika berhasil jadi dokter. Ia tidak ingin Ran berakhir menyesal seperti dirinya yang tidak bisa kuliah dan berakhir menjadi ibu rumah tangga biasa.
Ia tahu Ran berniat menjadi penulis. Tapi baginya pekerjaan itu sama sekali tidak menjanjikan. Ia tidak melarang mimpi itu, hanya saja ia tidak bisa menerima kalau Ran menyia-nyiakan otak cerdasnya hanya untuk sebuah mimpi yang belum tentu bisa memberinya hidup. Siapa yang tahu kalau ternyata mimpinya suatu hari malah akan menyakitinya dan akhirnya ia menyesali keputusannya itu.
Ia tahu suatu hari nanti Ran akan berterima kasih padanya atas paksaan menjadi dokter ini.
“Tanggal berapa IP kamu keluar?” tanya Sandra untuk kesekian kali.
Ran yang sedang menggasak kripik pisang sambil membaca novel Beyonders jilid dua karya Brandon Mull menggumam tak jelas.
“Apa, sih?” Sandra memukul ringan kaki Ran, “Bacanya jangan sambil tiduran. Mata kamu udah minus makin minus!”
Ran bangkit, “Enakan tiduran, Ma, bacanya.”
“IP kapan keluar?”
Ran mendesah kasar, “Mama punya nomor telepon dosenku nggak?”
Sandra mengernyit, “Buat apa?”
“Tanya sama dosenku kapan beliau input nilainya biar Mama bisa liat IP-ku.”
“Ish!” Sandra geleng-geleng kepala kesal lalu berbalik.
Ran menatap punggung Sandra sebentar, menimbang apa ia harus menceritakan soal insiden pembunuhannya di meja ujian. Melihat suasana hati Sandra yang tampaknya sedang cerah bagai habis pakai krim malam, Ran akhirnya memberanikan diri.
“Ma, kalau IP-ku turun jangan marah, ya ...” bodoh, tentu saja Sandra akan marah.
Sandra langsung berbalik, “Kenapa? Kamu nggak bisa ngerjain soalnya kemarin?”
Ran menggedikkan bahu, “Aku nggak sengaja bunuh pasien jadi-jadianku.”
Sandra mengerutkan dahi, meminta penjelasan lebih. Ia duduk di pinggir kasur Ran dan mendengarkan ketika Ran bercerita pelan-pelan soal kejadian hari itu. Tentu anak itu tak lupa menambahkan bumbu-bumbu dramatis yang sama sekali tidak membantu. Seiring berjalannya cerita menuju bagian akhir, semakin gelap muka Sandra dibuatnya. Ran sampai meneguk ludah, meragukan apa pilihannya ini tepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUMMIT ATTACK [Selesai]
Teen FictionHalo, sebelum ketemu Ran dan Arkan, bisa follow aku dulu? Makasih~~ Arkan Halim baru putus cinta karena cewek yang dikencaninya selama bertahun-tahun selingkuh. Ranita Hanggini tak tahan lagi dengan orang tuanya yang selalu mendikte hidupnya. Sama...