Extra 4: Arkan Setelah Rani pt.2 (END)

3.4K 278 45
                                    

Arkan ingat betul bagaimana rayuan Rani mudah sekali memakan akal sehatnya. Berkali-kali ia menerima Rani kembali hanya untuk disakiti lagi. Memang aneh, bagaimana senyum manis cewek itu bisa mengacaukan semua fungsi otaknya hingga yang keluar sebagai jawaban selalu anggukan kepala.

Awalnya ia menerima kembali karena percaya bahwa Rani memang hanya terganggu sejenak. Arkan bahkan sempat menyalahkan dirinya. Mungkin karena ia yang terlalu sibuk pada kuliahnya dan jarang menghubungi karena ia memang agak terobsesi untuk cepat lulus.

"Bukan salah lu!" Dewi menegaskan setelah kejadian kedua kalinya. "Emang dianya aja yang gak bener!"

Dewi memang begitu. Bicaranya suka seenak jidat tanpa pikir dulu. Apalagi kalau sudah menyangkut Rani. Sejak kejadian pertama Dewi sudah hilang respek pada cewek sebayanya itu.

"Pertama, okelah, mungkin dia khilaf! Yang kedua, mungkin dia gak maksud. Ini udah ketiga kali! Lu mau buat alasan apa lagi untuk nerima dia? Apa harus lu mergokin dia langsung supaya lu sadar?!" Dewi meledak. "Cupu!"

Ajaibnya, entah Arkan harus bersyukur atau malah merana, hal yang dikatakan Dewi benar terjadi.

Di sebuah kafe. Jauh dari kampusnya. Ia datang karena undangan temannya untuk hadir didebut band indie-nya. Ia menemukan Rani di meja lain sedang bercengkrama dengan cowok entah siapa lagi. Mata mereka bertemu. Ada raut kaget sekaligus panik di wajah Rani. Tapi dia buru-buru menutupinya dan kembali bercengkrama dengan cowok itu. Arkan tersenyum sinis melihatnya.

Saat itulah, akal sehatnya kembali.

-

Arkan melakukan kunjungan rutinnya siang ini. Sudah duduk rapi menunggu Ran di kafeteria rumah sakit tempat cewek itu sedang koas. Seseorang mendaratkan telapak tangannya di pipi kanannya. Tentu ia tahu siapa pelakunya.

"Sini duduk. Saya beli burger kesukaan kamu." Arkan meraih tangan Ran dan mandudukkannya di kursi sebelahnya.

"Sabar ya ... dua minggu lagi koasku selesai kok!" Ran meraih es teh manis yang juga sudah tersedia di atas meja.

Arkan mengangguk.

"Kerjaan kamu gimana?" Tanya Ran yang sedang menuangkan saus ke atas burgernya.

"Lancar. Proyek dalam kota lagi banyak. Lembur terus."

Ran menatap Arkan lamat-lamat. "Vitamin dari aku diminum tiap hari, kan? Itu beneran bantu banget naikin daya tahan tubuh kalo sering lembur gitu."

Arkan mengulum senyum manis. Ia mulai memakan bakminya. "Iya, dong. Kalo nggak bisa dimarahin bu dokter."

Ran mencibir. "Ibu sama Ayah sehat?"

"Sehat. Mereka sekarang santai di rumah ngurusin kebun belakang sekarang ada hidroponiknya." Arkan mengambil ponselnya, mencari sesuatu dan memperlihatkan foto kebun belakang rumahnya yang sudah disulap sedemikian rupa menjadi kebun hidroponik yang cukup luas.

"Ih keren! Wah kapan main ke sana, ya. Udah lama juga aku nggak ke rumah kamu." Ran menyeka sudut bibirnya.

"Nanti aja kalo udah selesai koas. Banyak waktu, kan."

Ran manyun. "Elya gimana? Dia masih kerja di perusahaan farmasi itu?"

"Masih. Kemarin dia bawa pacar ke rumah."

"He?????" Ran melebarkan matanya. "Kok dia nggak cerita ke aku ya??"

Arkan mendecih geli. "Malu kali. Temen kamu soalnya."

"Whaaat?! Siapaaaaa?!" Ran meletakkan burgernya.

"Tanya aja sama anaknya. Nggak seru kalo saya yang cerita." Arkan menggeser bakminya melihat Ran yang terus meliriknya.

"Ih kepo! Aku lupa bawa hp lagi! Ketinggalan di atas." Ran menyeruput bakmi milik Arkan "Aku kayaknya tau deh siapaa, kemarin sempet denger gosip gitu ..."

"Mungkin tebakan kamu bener. Pelan-pelan dong makannya bu dokter." Arkan menggeleng melihat Ran yang makan buru-buru, prihatin juga melihatnya.

"Takut dipanggil!"

Salah satu yang ingin Arkan protes dari koas ini adalah soal makan yang sama sekali tidak bisa tenang. Padahal harusnya urusan perut jangan diganggu gugat. Bisa runyam masalahnya.

"Semalam tidur di mana?" Tanya Arkan, membiarkan Ran memakan bakminya.

"Nggak tidur. Aku kebagian jaga malam."

"Sampai sekarang belum tidur?" Arkan menunjuk burger Ran yang belum habis. Sayang.

Ran menepuk dahinya, lupa kalau ia punya burger. "Tadi pagi tidur. Baru bangun jam 9an tadi."

"Tidur di sini?"

Ran mengangguk.

Ah, ini juga harus diprotes. Arkan sebenarnya tidak suka mendengar Ran tidur di rumah sakit. Karena ruang tidurnya campur antara koas perempuan dan laki-laki. Membayangkannya saja sudah kesal.

"Kalo koas kamu udah selesai, saya ke rumah kamu ya." Kata Arkan.

Ran mengangguk mantap. "Tanggal berapa ya enaknya ..."

"Sebulan dari sekarang? Hari Sabtu?"

"Boleh. Nanti aku kabarin Papa."

Arkan mengangguk. "Bilang saya mau datang, sama keluarga."

Ran mengangguk-angguk--"HAH?"

"Katanya suruh tanggung jawab? Kamu juga koasnya udah selesai. Siap?"

Ran meneguk ludah. "Aa siap?"

Wajah Arkan melembut mendengar panggilan 'Aa' yang keluar. "Disiap-siapin ini makanya."

Ran menenggak es teh manisnya. "Oke. Aku kabarin Papa nanti."

"Nanti kita cari cincinnya bareng aja ya. Kamu pilih sendiri. Saya nggak pernah liat kamu pake aksesoris apa-apa, nggak tau seleramu, susah juga kalo suruh milihin." Arkan menggaruk lehernya yang tidak gatal.

Ran mengulum senyum. "Oke!"

"Ran! Kok lu nggak bawa HP, sih? Dipanggil Dokrer Ira!" Seorang teman koasnnya berteriak dari dalam lift pasien, tanpa keluar, sebelah tangannya menahan tombol lift agar pintunya tetap terbuka.

"Yah ... pamit dulu, A." Ran bangkit. "Kabarin kalo udah sampe tempat kerja lagi."

"Buruan!" Temannya mencak-mencak.

Ran meremas sebentar tangan Arkan lalu berlari kecil memasuki lift.

Sedikit perasaan kecewa muncul. Walau sudah sering begini, tapi ternyata ia belum juga terbiasa. Ia ingin punya waktu yang lebih panjang untuk mengobrol dengan Ran.

"Bu, bakminya satu." Arkan menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan pada ibu penjaga kafeteria.

"Masih aja semangkok berdua." Si ibu tentu hafal dengan Arkan dan Ran.

"Nggak sempet, bu, kalo makan sendiri-sendiri. Waktu makan siang dia sempit banget." Arkan menghela nafas.

"Enak liatnya. Akur banget kalian. Kapan nikahnya?" Tanya si ibu sambil menyerahkan kembalian.

"Tahun ini, Bu. Doain, ya ..." []

.
.
.
DOAIN YA WEEHEHHEEHHE SUPAYA MEREKA BAHAGIA SAMPE TUA NANTI!

Sampai sini dulu ya kisah mereka, makasih udah ngikutin sampai akhir!
Love, fm.

SUMMIT ATTACK [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang