Liburan semester akhirnya tiba. Ran termasuk penghuni paling akhir yang pulang. Di kosan tinggal dirinya yang akan pulang hari ini, serta Shiwa dan Ayu yang akan pulang besok. Harusnya Ran yang menemani Shiwa, namun Ran sudah kadung memesan tiket bus lebih dulu, jadi Ayu yang belum membeli tiket sengaja menyocokkan jadwalnya dengan jadwal bus Shiwa agar bisa menemani. Ran mengemas sedikit barang yang akan ia bawa pulang ke Bogor ke dalam ranselnya. Ia berpamitan pada Elin dan Tatang yang mengantar sampai pagar, di mana ojek online-nya sudah menunggu.
Busnya berangkat sekitar jam dua siang. Ran sengaja duduk di dekat jendela karena ia suka melihat pemandangan luar selama perjalanan. Ponsel digenggamannya menyala untuk kesekian kalinya pagi ini. Ran hanya memandanginya. Nomor seseorang yang sejak malam tahun baru lalu tak sempat, atau lebih tepatnya, tak berani ia hubungi tertera dilayarnya. Panggilan masuk, dan Ran sengaja mengabaikannya.
Malam itu sebelum Arkan bisa menemukannya menangis di pinggir selasar, Ran kembali masuk ke kamar mandi di bawah dan menyeka wajahnya berkali-kali. Ia memaksa tangisnya berhenti, menepuk-nepuk pipinya beberapa kali hingga akhirnya ia bisa mengendalikan perasaannya. Ran merasa amat asing dengan dirinya sendiri saat itu. Tak pernah ia merasakan hatinya sakit sedemikian rupa, rasanya berbeda dari saat Sandra menolak memberinya izin kuliah jurusan Sastra di Yogyakarta.
Ketika tangisnya berhenti ia segera keluar dan menemukan Arkan sudah berdiri di ujung tangga kamar mandi, bersandar pada dinding dengan wajah sendu. Ran tak berani menatap mata Arkan malam itu, tidak saat mereka berada dalam mobil yang mengantar Ran kembali ke Jatinangor pada dini hari, tidak saat Ran pamit masuk ke dalam kosannya, tidak juga saat untuk pertama kalinya, Arkan menyentuh kepalanya, mengelusnya pelan dan pamit pulang ke Bandung.
Kecamuk hatinya malam itu benar-benar sulit digambarkan. Menyesakkan. Dan yang paling membuatnya nelangsa adalah ia sendiri tak yakin atas penyebabnya. Yang ia ketahui dengan pasti saat ini adalah ia perlu menjauh sementara dari Arkan. Ia tidak yakin sanggup mengahadapi cowok itu dengan perasaan asing ini. Sampai hari kepulangannya ke Bogor siang ini pun, ia masih mengabaikan Arkan.
Ponselnya kembali berdering, kini giliran telepon dari Shiwa yang masuk.
“Halo Wa, kenapa?”
“Kamu sama Bang Arkan ada apa?”
Ran tercekat mendengar pertanyaan tanpa basa-basi dari Shiwa itu.
“Bang Arkan barusan datang ke kosan, mencari kamu, katanya kamu sudah seminggu tidak bisa dihubungi." Shiwa menghela nafas, "Kamu kenapa? Tidak mungkin karena ujian, karena saat ujian sebelum tahun baru kalian baik-baik saja.”
Ran menutup matanya, “Kamu bilang apa sama dia?”
“Ya kubilang saja kamu sudah pulang ke Bogor. Kasihan dia langsung pergi lagi. Jauh-jauh dari Bandung, ternyata kamu sudah pulang. Kamu tidak mengabari Bang Arkan kalau kamu pulang? Kalian bertengkar?”
“Kita nggak berantem, emang anak kecil." Ran mendecih. "Nanti aku kabarin dia, makasih udah kasih tau ...”
“Aku sudah merasa ada yang aneh denganmu sejak malam tahun baru. Selama sisa ujian kamu tidak konsentrasi. Ternyata karena Bang Arkan?”
Ran diam saja. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia tidak ingin membenarkan, namun tidak juga bisa menyangkal.
-
Sandra menyambutnya riang. Menciumi seluruh wajah Ran ketika anaknya datang. Anjas juga tak kalah senang, buktinya ia manggut-manggut dan mengelus sekali kepala Ran. Sandra sudah masak makanan kesukaan Ran untuk menyambut anaknya yang pulang liburan semester. Kamar Ran juga sudah dibersihkan sejak kemarin, hingga kini tiap sudutnya kinclong sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUMMIT ATTACK [Selesai]
Novela JuvenilHalo, sebelum ketemu Ran dan Arkan, bisa follow aku dulu? Makasih~~ Arkan Halim baru putus cinta karena cewek yang dikencaninya selama bertahun-tahun selingkuh. Ranita Hanggini tak tahan lagi dengan orang tuanya yang selalu mendikte hidupnya. Sama...