Insomnia

1.1K 188 0
                                    

Bandung, Mei 2018 …
Lukman sedang duduk bersama Ika, Arkan dan Elya di teras belakang. Sambil melahap goreng pisang yang masih hangat mereka membicarakan soal pekerjaan Arkan. Anak sulungnya itu akan kembali pergi meninggalkan rumah ini. Kali ini jaraknya akan lebih jauh dari Yogyakarta.

“Ada orang yang ditakdirkan untuk bepergian. Ada orang yang ditakdirkan untuk diam di tempat kelahirannya sampai akhir. Kamu kayaknya masuk ketegori yang pertama.” Lukman berkata pelan. “Ayah mau menghalangi kamu pergi pun nggak bisa. Kamu udah dewasa, memang udah waktunya cari kehidupanmu sendiri. Pesan ayah satu aja, jangan lupa jalan pulang.”

Arkan tertawa kecil. Ia tahu meski terdengar seperti candaan, pesan itu sesungguhnya amat dalam.

“Kalau Ibu sih doain kamu aja yang terbaik. Sekarang kan jaman udah canggih, kamu mau pergi ke ujung dunia juga kita masih bisa komunikasi dengan baik. Lagian ini bukan pertama kalinya kamu jauh dari rumah.” Ika meremas lengan putra sulungnya itu.

“Aku juga selama ini udah biasa kok jadi anak tunggal. Santai aja!” Elya menaik turunkan alisnya. “Kalau pulang jangan lupa oleh-oleh buatku. Nggak terima bibit pohon! Jangan mentang-mentang kerja di hutan nanti aku dibawain pohon!”

Arkan mengusak kepala Elya gemas. Adiknya itu memang punya mulut yang nyinyir.
Setelah bincang sore itu, Elya membuntuti Arkan ke dalam kamarnya. Di ambang pintu ia berdiri, tidak berniat masuk. Dengan gaya sok ia bersandar di bingkainya.

“Jangan lupa pamit sama Ran! Gua nggak tau kalian itu kenapa tiba-tiba diam-diaman gini, tapi plis banget, kalian pernah 'temenan'!” Elya menekan kata ‘temenan’ di akhir kalimat. “Kalau sampai lu pergi tanpa bilang apa pun, gua yang malu sama Ran. Kelakuan abang gua kok nggak bener gitu!”

Arkan melongo di tempatnya berdiri setelah Elya ngeloyor pergi tanpa menunggu tanggapan darinya. Ia heran sekali kenapa adiknya jadi senewen begitu padanya. Sambil menggeleng-gelengkan kepala Arkan meraih telepon genggamnya di atas meja belajarnya.
Tanpa disuruh ia memang sudah berniat untuk pamitan dengan Ran. Malam itu hal inilah yang membuatnya datang jauh-jauh mencari Ran dan menunggunya hingga pulang di malam hari.  Meski sempat teralihkan dengan berita Rani yang mendatangi Ran, tapi ia berhasil mengabari kepergiannya ini.

Agak ragu Arkan menghubungi nomor Ran. Ia menempelkan ponsel pintarnya ke telinga. Nada sambung terdengar cukup lama hingga akhirnya suara operator terdengar. Arkan mendesah kasar. Memang lebih baik menemuinya langsung.

Jatinangor, Mei 2018 ...

“Yuk, Ran.” Bram menghentikan motor bebeknya di depan Ran yang sudah menunggu di luar parkiran.

Hari ini Ran sedang menjalankan tugasnya sebagai HUMAS. Ia sedang mengantar undangan kepada himpunan-himpunan jurusan dan fakultas lain yang masih serumpun dengan fakultasnya. Keduanya dapat bagian mengantar undangan ke Fakultas Kedokteran Hewan dan Fakultas Keperawatan. Setelah selesai, mereka langsung memutuskan untuk pulang ke indekos dan Bram setuju untuk mengantar Ran.

“Lu ngekos di gang itu juga?” tanya Ran di tengah perjalanan pulang.

YupRight next to yours. Ada kosan cowok kan di samping kosan lo?” Bram bertanya retoris.

“Lah? Sejak kapan?” Ran berteriak di samping helm yang Bram pakai.

Bram memutar bola matanya malas, “Makanya lo jangan jadi kupu-kupu, dong! Masa setelah empat semester baru tau kalau kita sebelahan kosnya?”

Lagi-lagi Ran tidak bisa membantah sebutan kupu-kupu itu. Meski kini ia sedang dalam tahap ‘peralihan’, namun julukan yang sudah lama melekat padanya itu tetap sulit dilepaskan.

SUMMIT ATTACK [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang