Ran sudah memikirkan semuanya baik-baik. Langkah yang selama ini belum berani ia ambil, kini terngiang-ngiang di kepalanya, meminta pelaksanaannya segera. Ran muak sekali memikirkan bahwa semester depan ia masih harus kembali berurusan dengan buku-buku tebal berbahasa inggris bergambar detil terdalam tubuh manusia. Maka dengan segenap keberanian ia akhirnya mengambil langkah itu.
Tanpa sepengetahuan siapapun, Ran mendaftarkan diri untuk ujian SBMPTN tahun ini. Ia masih punya uang tabungan untuk membayar biayanya. Dengan ujian kali ini ia harap keajaiban sungguh-sungguh datang untuknya. Sama seperti dulu ia diizinkan naik gunung karena sudah terlanjur mendaftarkan diri, ia berharap kali ini pun begitu.
Ran memandangi kartu tanda peserta yang terpampang di layar laptopnya. Tiga universitas dengan jurusan yang sama sudah ia pilih. Ketiga kampus itu berada jauh dari kawasan Jabodetabek dan Bandung, salah satunya di Yogyakarta. Sementara untuk domisili ujian, ia memilih daerah Jatinangor, karena ujiannya akan di laksanakan di tengah perkuliahan semester empatnya ini. Mimpi yang sempat ia tinggalkan akibat kesepakatannya dengan Sandra dulu, kini ingin ia wujudkan.
Waktu yang ada di semester ini terasa semakin sedikit. Ia harus membagi jam belajarnya untuk persiapan SBMPTN, sementara ia masih tak tega menelantarkan materi-materi kuliah yang menumpuk minta dipejari. Ditambah kini ia disibukkan dengan persiapan acara Open House yang sebulan lagi akan dilaksanakan. Ran harus melobi banyak sekali alumni dan dosen, juga mengantar undangan-undangan untuk para petinggi kampus seperti ketua BEM fakultas sebagai tugasnya di Divisi HUMAS, sementara ia juga harus ikut rapat dengan para panitia yang dibebankan double tugas sebagai mentor.
Bahkan persoalan Arkan sama sekali ia lupakan. Berita yang malam itu Arkan sampaikan, yang sempat membuatnya tertegun, sempurna menyingkir dari barisan depan daftar pikirannya. Malam itu ia ingat bagaimana ia sadar bahwa tidak ada yang bisa ia lakukan untuk menahan Arkan. Tepatnya, dirinya tidak berani mengambil aksi itu.
Namun satu hal yang paling mengganggu konsentrasi belajarnya sejak awal semester empat ini sama sekali bukan SBMPTN, Open House ataupun Arkan, namun keberadaan Shiwa ... Hingga pertengahan April ini anak itu masih belum kembali ke Jatinangor. Dihubungi pun tidak bisa. Sosoknya menghilang bagai tertelan Bumi. Pada Elin pun ternyata Shiwa tidak membayar sewa kamarnya sehingga tempat Shiwa kini sudah disewakan kembali pada orang lain, sementara barang-barangnya yang ditinggal begitu saja di kamar disatukan dengan barang Ran sementara. Ketika Ran menanyakan status Shiwa pada pihak prodi pun, anak itu tidak mengambil cuti dan tidak pula membayar biaya semester ini.
Ran sampai sengaja mencari ke sekretariat himpunan mahasiswa Jambi dan menanyai tiap anggota di sana mengenai keberadaan Shiwa. Namun hasilnya tetap nihil. Tidak ada satu orang pun yang tahu kabarnya. Rupanya mereka juga tidak bisa menghubungi Shiwa sejak liburan lalu.
Ran khawatir sekali terjadi apa-apa pada anak itu selama di kampungnya. Ia menahan otaknya berpikir terlalu jauh, pada kemungkinan terburuk yang mungkin bisa terjadi. Tiap malam di tengah sesi belajarnya, Ran akan melamun sejenak memikirkan sahabatnya itu, mengingat kembali malam-malam sunyi yang mereka habiskan berdua untuk belajar. Tak ada hari tanpa mencoba menghubungi Shiwa lewat semua media yang tersedia dan dimiliki gadis genius itu.
Lebih dari apapun Ran tahu betapa berarti kuliah kedokteran ini untuk Shiwa. Tidak seperti dirinya yang masuk atas paksaan, Shiwa punya tujuan yang mulia sekali untuk menjadi dokter. Gadis pedalaman itu sudah menyusun semua langkah hidupnya dengan hati-hati sejak kecil untuk bisa kuliah kedokteran di universitas terbaik di Indonesia-sekaligus keluar dari desa terpencilnya itu.
Mimpinya bukan hanya mimpi polos anak-anak yang sedang ditanya guru soal cita-cita. Untuk itu, sulit membayangkan Shiwa menyerah pada kuliahnya ini.
Ran hampir putus asa ketika bulan Mei akhirnya menyapa dan belum juga ada kabar mengenai Shiwa. Hingga suatu malam, ketika Ran sedang menyeka hidungnya yang mimisan, ponselnya berbunyi dan sebuah panggilan dari nomor tak dikenal masuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUMMIT ATTACK [Selesai]
Teen FictionHalo, sebelum ketemu Ran dan Arkan, bisa follow aku dulu? Makasih~~ Arkan Halim baru putus cinta karena cewek yang dikencaninya selama bertahun-tahun selingkuh. Ranita Hanggini tak tahan lagi dengan orang tuanya yang selalu mendikte hidupnya. Sama...