Mei 2018: Perpisahan Kedua

1.1K 182 0
                                    

"Aa nggak pamitan sama Ran?"

Pertanyaan Elya menghentikan gerakan Arkan seketika, buku dalam genggamannya menggantung beberapa senti di atas kopernya yang terbuka. Arkan menghembuskan nafas berat. Andai Elya tahu seberapa keras ia mencobanya.

"Minimal WA," tambah Elya.

"Nanti Aa' WA," jawab Arkan sekenanya.

"Aku nggak ngerti deh sama kalian. Kukira kalian bakal jadian. Kalian kan saling suka," seloroh Elya, tak peduli pada Arkan yang kini sedang muram.

"Jangan sok tau kamu."

Elya mendesah kasar. Siapa pun yang melihat kedekatan keduanya pasti akan berpikiran sama dengan Elya. Bahkan ia sudah beberapa kali membicarakan perihal ini dengan Shiwa. Teman-teman indekos dan Elin malah sudah terang-terangan menyangka Arkan adalah pacar Ran saking seringnya cowok itu datang setiap hari Minggu.

"Lo nahan. Apa gara-gara Rani?" Elya mendecih, "Jadi cowok kok plin-plan."

"Nggak ada hubungannya sama Rani," tegas Arkan agak kesal.

"Aa' itu terlalu banyak mikir. Terlalu banyak pertimbangan. Kalau begitu terus, Aa' akan terlambat nantinya. Selesai mikir, yang dipikirin malah udah pergi."

Kini giliran Arkan yang mendesah kasar, "Mending bantuin gua packing dari pada ngomong yang nggak-nggak terus. Ambilin sepatu di samping kamu tuh, sama tas sepatunya di laci bawah."

Sambil menggerutu Elya menurut. Ia membuka laci paling bawah lemari pakaian Arkan dan melakukan seperti yang Arkan perintahkan. "Perlu aku yang ngomong sama Ran?" tanya Elya, masih juga belum menyerah.

"Kamu urusin urusan kamu aja, deh ... dasar jobless!" cibir Arkan.

"Seriusan gua niat bantu, dih!" Elya memukul lengan Arkan.

"Seriusan gua nggak butuh bantuan lu, dih!" Arkan mengikuti nada bicara Elya.

Elya sekali lagi memukul lengan Arkan, kini lebih keras, "Bodo amat, deh. Gua nggak peduli sama lu!"

Arkan mengaduh sakit. Ia mengusap lengannya seraya memelototi Elya, "Puas-puasin sekarang mukulin gua, nanti kalau gua udah pergi ke Kalimantan baru tau rasa!"

Elya mendecih, "Udah biasa kali! Waktu jaman kuliah di Jogja juga lu jarang pulang! Sekarang mau pergi ke Kalimantan nggak pulang-pulang juga gua nggak akan kangen!"

"Ih kok aku sedih ya dengernya, dek ... " Arkan memasang tampang sebal.

Elya mencebik, "Cih, dek ... dek ... Dari pada gua, kayaknya lu yang bakal nelangsa di sana! Apalagi kalau pergi gitu aja tanpa pamit sama Ran!" seru Elya seraya bangkit dan meninggalkan Arkan yang menyunggingkan senyum kecut.

Andai saja Elya tahu apa yang Ran katakan di malam ia mengabari kepergiannya ini.

-
Malam setelah Rani menemui Ran ...

"Oh iya, A Arkan tadi katanya ada yang mau diomongin juga?"

Arkan menyeka wajah kesalnya yang samar-samar muncul sejak nama Rani disebut. "Itu ..."

"A Arkan gak biasanya gugup gini. Kanar buruk ya?"

Arkan mendesah, "Nggak juga, sih ... Saya mau ngabarin, saya akhirnya dapat kerjaan!"

Wajah Ran berubah antusias, "Wow! Selamat!! Akhirnya setelah nganggur lama ... hehe"

Arkan tersenyum, "Iya, udah nggak jadi pengacara lagi saya."

"Kerja di mana A'?"

Arkan menjeda sedikit jawabannya, "Lumayan jauh ... di Kalimantan."

SUMMIT ATTACK [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang