Rencana Hidup

1.6K 241 1
                                    

Sore ini Arkan berbincang dengan Lukman, ayahnya, mengenai rencana studi lanjutannya di teras belakang rumah. Cangkir teh hangat di atas meja bundar mengepulkan asap tipis.

Lukman bukan tipe orang tua yang banyak menuntut, asal anaknya senang dengan yang dijalaninya dan itu hal yang baik, ia akan setuju. Apalagi sebagai ayah, ia sudah mengenal anak laki-lakinya dengan baik, ia tahu Arkan anak yang cerdas dan sudah punya rencana sendiri untuk hidupnya.

“Apa kamu nggak tertarik kerja di LIPI?”

“Arkan nggak tertarik jadi PNS, Yah. Nggak apa-apa, kan, kalau aku nggak ngikutin jejak Ayah sekarang?"

Lukman tertawa mendengar pertanyaan Arkan, “Emang Ayah pernah bilang kamu harus jadi PNS? Terserah kamu mau jadi apa, asal jangan jadi pengangguran abadi.”

“Aku sebenarnya ada niatan untuk lanjut S2, tapi masih bingung di mana.”

“Di Jogja lagi kenapa emang?”

“Jenuh. Aku pengin cari suasana baru buat belajarku. Tapi kalau semisal aku dapat kerjaan yang cocok untukku lebih dulu, mungkin aku akan kerja dulu dan tunda studiku. Kemarin aku sempat dikasih tau sama dosenku soal organisasi kehutanan non-profit gitu yang emang lagi nyari asisten peneliti terutama lulusan jurusan kehutanan. Aku lumayan tertarik, tapi kalo aku keterima, aku akan dikirim ke Kalimantan langsung buat tugasnya.”

Lukman manggut-manggut. “Ada beberapa orang yang takdirnya emang menjelajah. Kamu salah satunya kayaknya ... susah juga punya anak yang rejekinya jauh gini." Lukman menyesap tehnya. "Pesan Ayah, sih, kamu cari kerja jangan terlalu muluk. Kebanyakan mahasiswa yang baru lulus idealismenya masih tinggi. Keukeuh maunya kerja yang sejurusan sama kuliahnya. Padahal banyak peluang lain juga,” pesan Lukman.

Arkan menatap ayahnya, ia selalu bersyukur punya ayah sehebat ini, “Iya. Jadi kalau misalnya sekarang aku jual cimol di depan SD nggak apa-apa, ya, Yah?”

Lukman terbahak mendengarnya, “Boleh. Nanti saya jadi ayah penjual cimol keren juga! Tapi kamu kalau mau jualan jangan di SD, kamu harus manfaatin wajah warisan leluhurmu itu buat menarik pelanggan, di SMA deh jualannya, pasti laku sama anak-anak cewek!”

Arkan menggeleng-gelengkan kepala mendengar saran Lukman, tawanya pecah melihat ayahnya itu terbahak karena idenya sendiri. Selalu menyenangkan berbincang dengan ayahnya. Momen seperti inilah yang seringkali ia rindukan selama masa kuliah di Yogyakarta yang jauh dari keluarga. Ia bersyukur bisa lulus tepat waktu empat tahun—walau sebenarnya itu melenceng enam bulan dari rencana awalnya karena urusan patah hatinya.

“A Arkan sebenarnya nggak usah bingung cari kerjaan! Jadi germo juga selesai urusan!” celetuk Elya yang keluar sambil memakan pisang.

“Ngaco!” sembur Lukman seketika, “Ayah tau muka Aa' kamu ini cakep, tapi nggak gitu cara eksploitasinya! Jadi coverboy aja, kece ‘kan tuh muka kamu nongol di depan majalah.” Lukman kelihatan puas sekali dengan sarannya.

“Mana ada jaman sekarang coverboy! Model, Yah, model! Boleh juga jadi model, A! Nanti aku jadi managermu.” Elya menimpali ide ayahnya bersemangat.

“Ini yang punya muka aku lho, kenapa kalian yang sibuk ngerencanain eksploitasinya!”

“Abisnya kamu punya tampang dimanfaatin sedikit kenapa, sih ...” seloroh Lukman, “Kayak ayahmu ini dulu jaman kuliah banyak yang antri! Ibumu aja dulu ngejar-ngejar Ayah dari semester satu!”

“Nggak usah ngarang! Ayah dulu sempat Ibu tolak nggak ingat?” Ika nongol di pintu belakang dengan wajah sewot, di tangannya ada pisau tajam berbau bawang, sepertinya ia sedang masak untuk makan malam.

SUMMIT ATTACK [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang