Bogor, Agustus 2019 …
Sejak insiden jatuh di kamar mandi, keadaan Sandra tidak pernah kembali seperti dulu. Penyakit darah tingginya memperparah kerusakan saraf di kepalanya. Saat pertama kali masuk ICU setahun yang lalu, dokter sudah menyarankan untuk menempuh jalan operasi. Namun mengingat umur Sandra yang sudah cukup lanjut, resiko yang akan terjadi pun menjadi lebih besar. Karenanya jalan itu ditolak habis-habisan oleh pihak keluarga Sandra.
Sandra tidak lagi bisa berjalan. Bukan karena lumpuh, namun kakinya seperti kehilangan tenaga. Emosinya pun jadi lebih meledak-ledak. Mudah sekali tersulut hanya karena hal-hal kecil. Orang-orang di sekitarnya harus ekstra sabar dalam merawatnya. Keputusan pun harus dibuat, Anjas memilih untuk mengurangi frekuensi kerjanya di luar. Jika masih bisa diselesaikan di rumah, ia akan mengusahakannya. Sebisa mungkin ia ingin menemani istrinya sesering mungkin. Suster yang mereka pekerjakan juga tidak bekerja 24/7, hanya datang di siang hari, itupun jika dibutuhkan.
Keputusan yang berat untuk Anjas ketika menurut untuk tidak mengoperasi Sandra. Padahal ia ingin setidaknya mencoba yang terbaik demi kesembuhan istrinya, lalu jika setelah semua usaha dilakukan dan akhirnya tetap tidak ada perubahan, ia akan menerima keadaannya dengan lapang dada. Menolak operasi rasanya memutuskan usahanya untuk menyembuhkan Sandra.
Tapi disaat pelik seperti ini, reaksi anak semata wayangnya nyatanya amat berbeda dari perkiraannya. Ia kira Ran akan terpukul karena keadaan Sandra. Terpuruk dan bergeming. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Setiap hari ia menelepon ke rumah, mengobrol sebentar dengan Sandra yang sekarang sudah agak sulit diajak bicara.
Seringkali sesi ‘teleponan’ itu berakhir dengan Sandra yang marah-marah, namun Ran tetap sabar dan menceritakan keseharian kuliahnya. Setiap liburan ia juga akan pulang dan menjaga Sandra setiap saat, sampai-sampai mereka tidak membutuhkan suster jika ada Ran di rumah. Di samping itu, tampaknya Ran kini amat mendalami kuliahnya hingga ia kaget ketika semester lima kemarin anak itu memberitahu bahwa ia mendapat IP 4 seperti yang selalu Sandra pinta darinya.
Seharusnya perubahan Ran itu membuat Anjas lega, namun anehnya ia justru merasakan hal sebaliknya. Ia gusar. Ran seperti bom waktu di matanya. Entah kapan akan meledak, tapi ia tahu pasti, bahwa Sandra-lah pemicunya. Karenanya ketika keadaan Sandra makin memburuk belakangan ini, ia seperti digerayangi ketakutan yang berkali lipat dari sebelumnya.
Ia tidak ingin kehilangan sekaligus dua orang yang paling ia cintai di dunia.-
Harusnya Ran sudah pulang ke Bogor sejak awal bulan ini. Namun penulisan skripsi yang sudah ia mulai sejak semester lalu membuatnya menunda rencana itu. Sekarang keinginannya hanya satu: cepat lulus. Ia ingin segera kembali ke Bogor dan menemani mamanya setiap saat.
Ia sudah dapat dosen pembimbing setelah berebut dengan teman-teman seangkatan dan senior yang mengincar dosen yang sama dengannya. Beliau senang sekali ketika menerima proposal skripsi yang sudah ia susun dan langsung setuju begitu melihat judul penelitiannya.
“Buru-buru mau kabur atau buru-buru karena udah nggak sabar ngabdi? Masih harus jadi koas dulu, sih ...” tanya si dosen ketika mereka berbincang pertama kali.
Ran tertawa pelan. “Setengah-setengah kayaknya, Bu.”
“Yakin bisa mulai sekarang?”
“Harus bisa, Bu … saya harus cepat lulus,” jawab Ran mantap.
Siang ini Ran harus pergi ke perpustakaan utama kampus. Ia perlu mencari buku-buku untuk referensi pustakanya dan melihat-lihat skripsi seniornya. Biasanya ia akan langsung pulang ketika liburan datang karena secepatnya ingin bertemu Sandra. Namun kini ia tersadar kalau menyelesaikan kuliah lebih cepat adalah langkah paling tepat untuk bisa secepatnya kembali ke Bogor.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUMMIT ATTACK [Selesai]
Teen FictionHalo, sebelum ketemu Ran dan Arkan, bisa follow aku dulu? Makasih~~ Arkan Halim baru putus cinta karena cewek yang dikencaninya selama bertahun-tahun selingkuh. Ranita Hanggini tak tahan lagi dengan orang tuanya yang selalu mendikte hidupnya. Sama...