3. Langkah Pertama

2K 269 1
                                    

Stasiun Bogor, September 2016 ...

Arkan seperti tersambar petir. Ada begitu banyak nama di dunia ini, di Indonesia, di pulau Jawa, mengapa harus Ranita? Ia hampir ambruk begitu mendengar nama itu keluar dari mulut Dewi. Ya, seterkejut itu dia hanya perkara nama.

Arkan tentu tidak kenal dengan Ranita yang satu ini, tapi ia punya kenalan baik—kelewat baik malah—yang juga bernama Ranita. Mantan pacarnya. Yang mengkhianatinya berkali-kali. Yang berkali-kali pula ia beri kesempatan. Yang masih amat membekas untuknya. Yang masih ia cintai ...

Arkan memang bucin.

Bertemu seseorang dengan nama yang sama dengan mantan pacar satu-satunya itu entah mengapa membuat Arkan gusar, apalagi dalam usahanya melupakan.

Rombongan mereka mengikuti Faris, ketua rombongan ini yang berasal dari Malang. Kelompok ini sendiri terdiri dari tujuh orang Malang termasuk Faris, mereka semua tergabung dalam satu regu MAPALA salah satu universitas negeri bergengsi di kota itu, lalu ada dua orang Yogyakarta, Arkan dan Dewi, dan Ranita yang asli Bogor. Genap sepuluh.

Faris memimpin mereka menaiki sebuah mobil elf silver yang sudah menunggu mereka. Ia memohon dengan segala kerendahan hatinya kepada anggota yang punya mabuk kendaraan untuk tahu diri dan duduk di bagian depan dan tengah mobil, sementara yang tak ada masalah harus berbahagia duduk di belakang.

Entah sial atau beruntung, Arkan malah kebagian duduk di samping Ranita—atau dia lebih suka dipanggil Ran katanya—di bangku belakang. Sepupunya yang memang punya mabuk kendaraan duduk di depan bersama Tia. Arkan kikuk setengah mati, padahal ia tidak habis kentut sembarangan. Ia tidak ingat kapan terakhir ia segugup ini.

Mobil melaju pelan di ruas Jalan Kapten Muslihat yang masih ramai di malam hari lalu ke luar menuju ruas Jalan Ir. H. Juanda yang searah dan mengitari kawasan Kebun Raya Bogor. Jalur yang akan ditempuh adalah via tol Jagorawi, itu jalan tercepat untuk sampai ke kawasan Puncak. Lalu mereka akan turun ke arah Cipanas menuju Kebun Raya Cibodas.

Malam menua. Para pendaki masih segar. Terbawa euforia mendaki yang kelewat kuat.

"Saya kuliah di UGM Kehutanan," terang Arkan ketika Faris bertanya.

Mendengarnya Ran antusias. "A Arkan anak UGM?! Seriusan A?!" Ran refleks memanggil Arkan dengan sebutan 'Aa' karena begitulah ia biasa memanggil 'abang' di lingkungannya.

Arkan menelan ludah. Ia tahu cepat atau lambat ia pasti perlu berinteraksi dengan cewek di sebelahnya ini. "Saya emang punya tampang tukang bohong ya?" Arkan meraba pipinya.

"Eh, nggak gitu! Aku kesenengan ketemu anak UGM beneran, soalnya aku pengen banget kuliah di sana!"

"Ayo kuliah di UGM, nanti kamu kos di rumahku aja, di kamar bekas Arkan, dia 'kan tahun ini mau angkat kaki dari Jogja," seloroh Dewi yang ada di bagian depan mobil.

"Lho kenapa?" tanya Ran bingung.

"Karena saya lulus tahun ini," jawab Arkan, "Tapi kalo bisa ..." cicitnya mengingat skripsinya yang jamuran di kamarnya karena ia sibuk dengan patah hatinya.

"Lho kamu katanya baru semester enam?" tanya Faris heran.

"Iya, tapi saya udah mulai nyusun skripsi."

"Ngebet nikah, ya, Mas?" tanya Dede menggoda, disambut dengan sorakan seisi mobil.

Arkan nyengir sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Calonnya aja nggak ada Mas! Nikah sama angin iya!"

"Ealah jomblo dia!!!" Sorak yang lain.

"Lah aku kok nggak sedih-sedih amat ya jadi jomblo, muka kayak dia aja jomblo, apalagi aku!"

SUMMIT ATTACK [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang