Sejak telepon dari Shiwa datang, Ran kesulitan tidur. Kantuknya tidak pernah datang ketika malam menyelimuti. Ia hanya berbaring di kasurnya, menatap langit-langit kasur di atasnya yang kini diisi oleh seorang mahasiswi baru jurusan Keperawatan bernama Lili. Suara dengkuran halus dari dua teman sekamarnya menjadi suara latarnya malam itu, dan Ran tidak bisa menghentikan pikirannya berkelana memikirkan sahabat baiknya.
Lama terdiam pada posisi yang sama, Ran akhirnya bangkit, meraih kacamatanya dan duduk di depan meja belajarnya. Ia mengeluarkan laptopnya dan mulai membaca jurnal medis yang sejak lama sudah ia unduh namun belum sempat ia baca. Matanya awas dan tiap kata bahasa Inggris yang ia baca dilayar laptopnya dengan cepat masuk ke dalam otaknya.
Lembar demi lembar jurnal beratus-ratus halaman itu ia babat hingga pagi datang. Pukul lima, ketika alarm ponselnya berbunyi Ran sigap mengambil handuk dan mandi. Belum ada seorang penghuni indekos pun yang bangun ketika Ran menuruni tangga kosannya. Ia berpapasan dengan Elin yang ingin naik ke atas untuk mengantar bakwan hangat. Ran mengambil dua potong dari atas piringnya dan pamit pergi.
Kampus masih sepi. Ran tidak tahu kenapa ia datang sepagi ini. Ia hanya tidak suka berlama-lama berada di kamar indekosnya belakangan ini. Semakin siang, satu persatu teman-teman sekelasnya datang dan kelas mulai penuh. Mereka menyapa Ran seperti biasanya. Namun Ran yang sedang dalam suasana hati kurang baik hanya menjawab sekilas.
"Dua hari menghilang, seorang mahasiswa 'terbelakang' kembali sebagai titisan Shiwa!" ledek Danu yang baru datang. "Headline-nya bagus kan buat mading kita?"
Ran mendengus. Julukan 'terbelakang' untuknya muncul karena ia selalu duduk di belakang. Pemandangan rutin pagi hari kelas mereka adalah kedatangan Ran dan Shiwa yang selalu bersama, namun setelah melewati pintu kelas, seperti sudah di komando, keduanya akan berpisah tanpa kata. Yang satu langsung duduk paling depan, sedang yang satu lagi memilih bangku paling belakang. Lalu setelah kelas berakhir, keduanya akan kembali menempel.
Penyebab Danu berkomentar seperti itu adalah karena tiba-tiba hari ini Ran duduk di barisan paling depan. Sungguh pemandangan langka.
"Gua abis dapat wangsit kalau gua nggak duduk di depan gua bakal mati muda." Ran memasang wajah prihatin sambil menggeleng khidmat.
"Oh ternyata masih waras lo!" Danu nyengir, ia mengambil tempat duduk di sebelah Ran. "Kenapa muka lo kusut banget begini? Sebelas dua belas sama zombie."
"Gua udah beberapa hari belakangan nggak bisa tidur," jawab Ran jujur.
"Kurang main itu!" raut wajah Danu berubah prihatin. "Nanti sore biar gua ajak main, deh!"
"Ke mana?" Ran bertanya tanpa minat.
"Rapat akbar buat Open House! Jangan kabur lo! " Ancam Danu tanpa dosa.
Ran mendesah kasar. "Kagak. Takut banget."
"Oooww ... lo udah taubat ceritanya? Biasanya maunya kabur terus," ledek Danu.
Ran tertawa dibuat-buat. "Malas dibawelin lu. Berisik!"
"Good."
-
"Ngomong-ngomong, gimana kabar Shiwa? Udah bisa dihubungi?" tanya Danu ketika keduanya berjalan menyusuri lorong fakultas seusai kelas hari ini.
Raut wajah Ran seketika berubah lesu, ia mengangguk perlahan, "Masih di kampungnya. Tiga hari lalu dia ngabarin kalau dia mau berhenti kuliah."
"Hah???" Danu melebarkan matanya tak percaya. Langkahnya terhenti. Wajahnya kini seperti baru saja mendengar bahwa ada kuda lahir dari induk marmut. "Seorang Shiwa berhenti kuliah?"

KAMU SEDANG MEMBACA
SUMMIT ATTACK [Selesai]
Roman pour AdolescentsHalo, sebelum ketemu Ran dan Arkan, bisa follow aku dulu? Makasih~~ Arkan Halim baru putus cinta karena cewek yang dikencaninya selama bertahun-tahun selingkuh. Ranita Hanggini tak tahan lagi dengan orang tuanya yang selalu mendikte hidupnya. Sama...